HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar
Kamus Hafalan Durusul Lughah Jilid 2

Pasal : Terkait imam

 

الأَقْرَأُ العَالِمُ فِقْهَ صَلَاتِهِ : أَوْلَى مِنَ الْأَفْقَهِ.

Orang yang paling baik bacaan Al-Qur'annya dan memahami fikih salatnya lebih diutamakan daripada orang yang lebih ahli dalam fikih saja.

وَلَا تَصِحُّ خَلْفَ فَاسِقٍ، إِلَّا فِي جُمُعَةٍ وَعِيدٍ تَعَذَّرا خَلْفَ غَيْرِهِ.

Shalat tidak sah di belakang imam yang fasik, kecuali dalam shalat Jum'at dan shalat 'Ied jika tidak memungkinkan adanya imam lain.

وَلَا إِمَامَةُ مَنْ حَدَثُهُ دَائِمٌ، وَأُمِّيٍّ، وَهُوَ : مَنْ لَا يُحْسِنُ الفَاتِحَةَ، أَوْ يُدْغِمُ فِيهَا حَرْفًا لَا يُدْغَمُ، أَوْ يَلْحَنُ فِيهَا لَحْنًا يُحِيلُ المَعْنَى، إِلَّا بِمِثْلِهِ، وَكَذَا مَنْ بِهِ سَلَسُ بَوْلٍ، وَعَاجِزٌ عَنْ رُكُوعٍ، أَوْ سُجُودٍ، أَوْ قُعُودٍ وَنَحْوِهَا، أو اجْتِنَابِ تَجَاسَةٍ، أَوِ اسْتِقْبَالٍ، وَلَا عَاجِرٍ عَنْ قِيَامِ بِقَادِرٍ، إِلَّا، رَاتِبًا، رُجِيَ زَوَالُ عِلَّتِهِ، وَلَا مُمَيِّزٍ لِبَالِغٍ فِي فَرْضٍ، وَلَا امْرَأَةٍ لِرِجَالٍ وَخَنَاثَى، وَلَا خَلْفَ مُحْدِثٍ أَوْ نَجِسٍ، فَإِنْ جَهِلَا حَتَّى انْقَضَتْ ؛ صَحَّتْ لِمَأْمُومٍ.

Tidak sah menjadi imam orang yang terus-menerus berada dalam keadaan hadas, atau orang yang disebut ummi, yaitu seseorang yang tidak bisa membaca Al-Fatihah dengan benar, meng-idghamkan huruf yang tidak seharusnya di-idghamkan, atau membuat kesalahan bacaan (lahn) yang mengubah makna.

Demikian pula, orang yang menderita penyakit seperti sering keluar air seni (salasul baul), tidak mampu melakukan ruku', sujud, duduk, atau gerakan lain yang merupakan rukun salat, tidak bisa menghindari najis, atau tidak mampu menghadap kiblat, tidak sah menjadi imam.

Orang yang tidak mampu berdiri juga tidak boleh menjadi imam bagi orang yang mampu berdiri, kecuali jika ia adalah imam tetap (ratib) yang diharapkan bisa sembuh dari penyakitnya. Selain itu, anak kecil yang belum baligh tidak sah menjadi imam bagi orang dewasa dalam salat wajib. Wanita tidak sah menjadi imam bagi pria atau kelompok yang terdiri dari pria dan banci.

Sahlat juga tidak sah dilakukan di belakang imam yang dalam keadaan hadas atau membawa najis, kecuali jika baik imam maupun makmum tidak mengetahui keadaan tersebut sampai shalat selesai, maka shalat makmum tetap dianggap sah.

وَتُكْرَهُ إِمَامَةُ : لَحَّانٍ، وَفَأْفَاءٍ وَنَحْوِهِ.

Dimakruhkan menjadi imam bagi orang yang sering salah dalam bacaan (lahhan) atau memiliki cacat pengucapan seperti gagap (fa’faa) atau yang serupa dengannya.

وَسُنَّ وُقُوفُ المَأْمُومِينَ : خَلْفَ الإِمَامِ، وَالوَاحِدُ : عَنْ يَمِينِهِ وُجُوبًا، وَالمَرْأَةُ : خَلْفَهُ نَدْبًا.

Sunnah bagi makmum berdiri di belakang imam, sementara jika hanya satu orang makmum, maka ia berdiri di sebelah kanan imam sebagai kewajiban. Wanita disunnahkan berdiri di belakang imam.

وَمَنْ صَلَّى عَنْ يَسَارِ الإِمَامِ مَعَ خُلُوِّ يَمِينِهِ، أَوْ فَذًّا رَكْعَةً، لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ.

Jika makmum berdiri di sebelah kiri imam padahal sisi kanannya kosong, atau jika ia salat sendirian pada satu rakaat dalam salat berjamaah, maka salatnya tidak sah.

وَإِذَا جَمَعَهُمَا مَسْجِدٌ : صَحَّتِ القُدْوَةُ مُطلَقًا بِشَرْطِ العِلْمِ بِانْتِقَالَاتِ الإِمَامِ.

Apabila mereka semua berada dalam satu masjid, keabsahan mengikuti imam berlaku mutlak dengan syarat mengetahui gerakan-gerakan imam.

وَإِنْ لَمْ يَجْمَعُهُمَا شُرِطَ رُؤْيَةُ الإِمَامِ، أَوْ مَنْ وَرَاءَهُ أَيْضًا، وَلَوْ فِي بَعْضِهَا.

Jika tidak berada dalam satu masjid, maka disyaratkan dapat melihat imam atau orang-orang yang berdiri di belakangnya, meskipun hanya dalam sebagian salat.

وَكُرِهَ: عُلُوُّ إِمَامٍ عَلَى مَأْمُومٍ ذِرَاعًا فَأَكْثَرَ، وَصَلَاتُهُ فِي مِحْرَابٍ يَمْنَعُ مُشَاهَدَتَهُ، وَتَطَوُّعُهُ مَوْضِعَ المَكْتُوبَةِ، وَإِطَالَتُهُ الاسْتِقْبَالَ بَعْدَ السَّلَامِ، وَوُقُوفُ مَأْمُومٍ بَيْنَ سَوَارٍ تَقْطَعُ الصُّفُوفَ عُرْفًا، إِلَّا لِحَاجَةٍ فِي الكُلِّ، وَحُضُورُ مَسْجِدٍ وَجَمَاعَةٍ لِمَنْ رَائِحَتُهُ كَرِيهَةٌ مِنْ بَصَلٍ أَوْ غَيْرِهِ.

Dimakruhkan : imam berada di tempat yang lebih tinggi daripada makmum sejauh satu hasta atau lebih, melaksanakan salat di mihrab[1] yang menghalangi pandangan makmum terhadapnya, melakukan salat sunnah di tempat salat wajib[2], memperpanjang duduk menghadap kiblat setelah salam, serta berdiri seorang makmum di antara tiang-tiang yang memutus saf secara kebiasaan, kecuali karena adanya kebutuhan dalam semua keadaan tersebut. Juga, dibenci menghadiri masjid dan berjamaah bagi seseorang yang memiliki bau tak sedap, seperti bau bawang atau yang lainnya.

وَيُعْذَرُ بِتَرْكِ جُمُعَةٍ وَجَمَاعَةِ : مَرِيضٌ، وَمُدَافِعُ أَحَدِ الْأَخْبَثَيْنِ، وَمَنْ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، وَخَائِفٌ ضَيَاعَ مَالِهِ، أَوْ مَوْتَ قَرِيبِهِ، أَوْ ضَرَرًا مِنْ سُلْطَانٍ، أَوْ مَطَرٍ وَنَحْوِهِ، أَوْ مُلَازَمَةَ غَرِيمٍ وَلَا وَفَاءَ لَهُ، أَوْ فَوْتَ رُفْقَتِهِ، وَنَحْوُهُمْ.

Diberikan uzur untuk meninggalkan salat Jumat dan salat berjamaah bagi orang yang sakit, orang yang sedang menahan salah satu dari dua hadas besar (buang air kecil atau besar), orang yang berada di hadapan makanan yang ia butuhkan, orang yang khawatir kehilangan hartanya, atau kematian kerabatnya, atau khawatir terkena bahaya dari penguasa, hujan atau hal serupa, atau terhalang karena adanya penagih utang yang tidak mampu ia bayar, atau khawatir tertinggal rombongan perjalanannya, dan hal-hal sejenisnya.



[1] Tempat imam berdiri saat memimpin shalat berjama’ah.

[2] Ada pertanyaan dari grup whatsapp apakah hal ini berlaku untuk imam saja atau juga berlaku untuk makmum ? Disebutkan oleh Syaikh asy-Syuwai’ir di dalam kitabnya Syarh Akhsor Mukhtasorot hal 218 :

مسألة التطوع في موضع المكتوبة مكروه، لما جاء من حديث معاوية من نهي النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن الوصل بين الصلاتين؛ لكن قول المصنف وتطوعه الضمير هنا عائد للإمام الفقهاء قالوا: إن الذي بكره له أن يتطوع في مكان المكتوبة إنما هو الإمام، أما المأموم والمنفرد فلا يكره له ذلك، بل يفصل بينهما الإمام بانتقال أو بحركة، والحركة قالوا أقلها خطوة بانتقال القدمين كما قال الأوزاعي، والكلام بأن يتحدث مع الناس ولو بالتسبيح، ولماذا خص الحكم بالإمام خاصة ؟

لأن الإمام إذا صلى الفريضة ثم صلى بعدها النافلة في مكانه لربما ظن المأمومون أنها تتمة للمسابقة كان ناسيا لها، ولربما جاء رجل من المأمومين لا يعرف يظن أنه ما زال في صلاته، وربما رجل لم يسمع السلام فرآه قائما فقام يظنها الركعة التي بعدها، وهكذا، ولهذا كره للإمام خاصة أن يتنفل فيه.

Masalah melakukan salat sunnah di tempat salat fardu adalah makruh, berdasarkan hadis dari Mu’awiyah yang menyebutkan larangan Nabi Muhammad untuk menyambung antara dua salat tanpa jeda. Namun, menurut pernyataan penulis (yaitu pengarang kitab), "dan melakukan salat sunnah" di sini, kata ganti "dia" kembali kepada imam. Para ahli fikih mengatakan bahwa yang dimakruhkan melakukan salat sunnah di tempat salat fardu adalah imam saja. Adapun makmum dan orang yang salat sendirian (munfarid), tidak dimakruhkan melakukannya. Imam disunnahkan memisahkan antara keduanya dengan berpindah tempat atau melakukan gerakan. Gerakan minimal yang disebutkan adalah melangkah satu langkah dengan kedua kaki sebagaimana disebutkan oleh Al-Awza’i, atau dengan berbicara kepada orang-orang, meskipun hanya dengan zikir seperti membaca tasbih.

Mengapa hukum ini khusus berlaku bagi imam? Karena jika imam melaksanakan salat fardu, lalu langsung melaksanakan salat sunnah di tempat yang sama, hal itu dapat menimbulkan salah paham bagi makmum. Sebagian makmum mungkin mengira bahwa salat sunnah tersebut adalah lanjutan dari rakaat yang tertinggal karena lupa. Bisa jadi ada makmum yang tidak memahami situasi dan mengira bahwa imam masih dalam salat fardu. Mungkin juga ada seseorang yang tidak mendengar salam imam, lalu melihatnya berdiri dan menyangka bahwa itu adalah rakaat berikutnya dari salat fardu. Oleh karena itu, dimakruhkan bagi imam untuk melaksanakan salat sunnah di tempat yang sama.