Pasal : Syarat sah shalat
شُرُوطُ صِحَّةِ الصَّلَاةِ سِتَّةٌ : طَهَارَةُ الحَدَثِ، وَتَقَدَّمَتْ، وَدُخولُ الوَقْتِ.
Syarat sah salat ada
enam. Salah satunya adalah bersuci dari hadats, yang telah dijelaskan
sebelumnya, dan syarat lainnya adalah masuknya waktu salat.
فَوَقْتُ الظُّهْرِ : مِنَ
الزَّوَالِ حَتَّى يَتَسَاوَى مُنْتَصِبٌ وَفَيْئُهُ سِوَى ظِلِّ الزَّوَالِ.
Waktu salat Zuhur
dimulai dari tergelincirnya matahari (zawal) hingga bayangan suatu benda
yang tegak lurus sama panjang dengan benda itu sendiri, selain bayangan saat zawal.
وَيَلِيهِ : المُخْتَارُ
لِلعَصْرِ حَتَّى يَصِيرَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ سِوَى ظِلِّ الزَّوَالِ، وَالضَّرُورَةُ : إلى الغُرُوبِ.
Setelah itu, waktu
pilihan untuk salat Asar berlangsung hingga bayangan suatu benda menjadi dua
kali panjangnya, selain bayangan saat zawal. Namun, waktu darurat untuk
Asar berlangsung hingga terbenamnya matahari.
وَيَلِيهِ :
المَغْرِبُ حَتَّى يَغِيبَ الشَّفَقُ الأَحْمَرُ.
Setelah itu, waktu
Magrib dimulai hingga hilangnya cahaya merah di ufuk barat (syafaq ahmar).
وَيَلِيهِ : المُخْتَارُ
لِلعِشَاءِ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الأَوَّلِ، وَالضرُورَةُ
: إِلَى طُلُوعِ فَجْرٍ ثَانٍ.
Kemudian waktu pilihan
untuk salat Isya berlangsung hingga sepertiga malam pertama. Adapun waktu
daruratnya berlangsung hingga terbitnya fajar kedua (fajr tsani).
وَيَلِيهِ : الفَجْرُ
إِلَى الشَّرُوقِ.
Setelah itu, waktu
salat Subuh berlangsung hingga terbitnya matahari.
وَتُدْرَكَ مَكْتُوبَةٌ بِإِحْرَامٍ فِي وَقْتِهَا، لَكِنْ يَحْرُمُ تَأْخِيرُهَا إِلَى وَقْتٍ لَا يَسَعُهَا.
Salat wajib dianggap
sah jika seseorang sempat melakukan takbiratul ihram pada waktu yang tersisa,
tetapi haram hukumnya menunda salat hingga waktu tersisa tidak mencukupi untuk
melaksanakannya.
وَلَا يُصَلِّي حَتَّى : يَتَيَقَّنَهُ، أَوْ يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ دُخُوْلُهُ إِنْ عَجَرَ عَنِ
اليَقِينِ، وَيُعِيدُ إِنْ أَخْطَأَ.
Seseorang tidak boleh memulai
salat hingga ia yakin atau memiliki dugaan kuat bahwa waktu salat telah masuk.
Jika ia ragu dan ternyata waktu
belum masuk, maka salatnya tidak sah dan wajib diulang.
وَمَنْ صَارَ أَهْلًا لِوُجُوبِهَا قَبْلَ خُرُوجِ وَقْتِهَا بِتَكْبِيرَةٍ : لَزِمَتْهُ، وَمَا يُجْمَعُ
إِلَيْهَا قَبْلَهَا.
Barang siapa telah
menjadi mukallaf (berkewajiban salat) sebelum keluarnya waktu dengan takbiratul
ihram, maka ia wajib melaksanakan salat tersebut dan salat yang dijamakkan
dengannya sebelum waktunya habis.
وَيَجِبُ فَوْرًا قَضَاءُ
فَوَائِتَ مُرَتَّبًا، مَا لَمْ : يَتَضَرَّرْ، أَوْ يَنْسَ، أَوْ يَخْشَ فَوْتَ
حَاضِرَةٍ، أو اختِيَارِهَا.
Wajib [bagi seseorang]
untuk segera mengganti [qodho] shalat yang terlewat ; dilakukan secara
berurutan selama tidak memadhorotkan, lupa, atau dikhawatirkan akan kehilangan
waktu shalat yang sekarang atau bahkan waktu ikhtiyarnya.
الثَّالِثُ : سَتْرُ
العَوْرَةِ، وَيَجِبُ حَتَّى خَارِجَهَا، وَفِي خَلْوَةٍ وَظُلْمَةٍ، بِمَا لَا يَصِفُ
البَشَرَةَ.
Syarat ketiga adalah menutup
aurat. Kewajiban ini berlaku bahkan di luar shalat, baik ketika berada di
tempat sepi maupun dalam gelap. [Aurat tersebut ditutup] dengan sesuatu [yang
dengannya] kulit seseorang tidak bisa disifatkan[1].
وَعَوْرَةُ رَجُلٍ، وَحُرَّةٍ
مُرَاهِقَةٍ، وأَمَةٍ مُطْلَقًا : مَا بَيْنَ سُرَّةٍ وَرُكْبَةٍ، وَابْنِ سَبْعٍ
إِلَى عَشْرٍ : الفَرْجَانِ، وَكُلُّ الحُرَّةِ عَوْرَةٌ إِلَّا وَجْهَهَا فِي
الصَّلَاةِ.
Aurat seorang lelaki,
perempuan [bukan budak] yang hampir baligh, dan budak perempuan secara mutlak
adalah bagian antara pusar dan lutut. Sedangkan aurat anak kecil dari usia
tujuh hingga sepuluh tahun adalah dua kemaluannya [depan dan belakang]. Bagi
perempuan merdeka, seluruh tubuhnya adalah aurat dalam shalat kecuali wajahnya.
وَمَنِ انْكَشَفَ بَعْضُ
عَوْرَتِهِ وَفَحُشَ، أَوْ صَلَّى فِي نَجِسٍ، أَوْ غَصْبٍ، ثوْبًا أَوْ بُقْعَةً
: أَعَادَ، لَا مَنْ حُبِسَ فِي مَحَلٍّ نَجِسٍ أَوْ غَصْبٍ لَا يُمْكِنُهُ
الخُرُوجُ مِنْهُ.
Jika sebagian aurat
terbuka secara mencolok [kadar tersingkapnya], atau seseorang shalat dengan
pakaian najis, atau menggunakan barang hasil curian, baik berupa pakaian maupun
tempat, maka wajib mengulang shalatnya. Tidak perlu mengulang jika orang
tersebut terkurung pada sebuah tempat yang najis atau hasil curian, yang dia
tidak mampu untuk keluar dari tempat tersebut.
الرَّابِعُ :
اجْتِنَابُ نَجَاسَةٍ غَيْرِ مَعْفُوٍّ عَنْهَا فِي بَدَنٍ، وَثَوْبٍ، وَبُقْعَةٍ
مَعَ القُدْرَةِ.
Syarat keempat adalah
menjauhi najis yang tidak dimaafkan pada badan, pakaian, dan tempat shalat,
selama masih mampu melakukannya.
وَمَنْ جَبَرَ عَظْمَهُ، أَوْ خَاطَهُ بِنَجِسٍ، وَتَضَرَّر بِقَلْعِهِ : لَمْ يَجِبْ،
وَتَيَمَّمَ إِنْ لَمْ يُغَطّهِ اللَّحْمُ.
Jika seseorang memakai gips atau luka yang
dijahit dengan benda najis, dan ada mudhorot jika dilepas, maka tidak
diwajibkan melepasnya. Sebagai gantinya, ia bertayamum jika jahitan/gips
[berada di bagian luar].
وَلَا تَصِحُّ - بِلَا عُذرٍ - فِي : مَقْبَرَةٍ، وَخَلَاءٍ وَحَمَّامٍ، وَأَعْطَانِ إِبِلٍ، وَمَجْزَرَةٍ،
وَمَزْبَلَةٍ، وَقَارِعَةِ طَريقٍ، وَلَا فِي أَسْطِحَتِهَا.
Dan jika tidak ada
udzur, maka shalat tidak sah dilakukan di kuburan, tempat buang hajat, tempat
mandi, kandang unta, tempat jagal hewan, tempat pembuangan sampah, di tengah
jalan atau di pinggirnya [yang manusia lalu lalang di atasnya].
الخَامِسُ :
اسْتِقْبَالُ القِبْلَةِ، وَلَا تَصِحُّ بِدُونِهِ، إِلَّا : لِعَاجِزٍ، وَمُتَنَفِّلٍ
في سَفَرٍ مُبَاحٍ.
Syarat kelima adalah
menghadap kiblat. Tidak sah shalat tanpa syarat ini, kecuali bagi orang yang
tak mampu [dalam menghadap kiblat] atau dalam shalat sunnah ketika sedang safar
yang mubah.
وَفَرْضُ قَرِيْبٍ مِنْهَا : إِصَابَةُ عَيْنِهَا، وَبَعِيدٍ جِهَتُهَا.
Untuk shalat fardhu di wilayah yg dekat dari
kiblat, maka dia harus menghadap langsung ke dzat kiblat. Adapun yg jauh dari
kiblat, maka cukup menghadap ke arah kiblat.
وَيَعْمَلُ وُجُوبًا : بِخَبَرِ
ثِقَةٍ بِيَقِيْنٍ، وَبِمَحَارِيْبِ الْمُسْلِمِينَ.
Valid dan wajib untuk
diamalkan [dalam keadaan sedang menentukan arah kiblat]: adanya berita dari
seorang yg bisa dipercaya dan dia yakin akan hal itu.
وَإِن اشْتَبَهَت فِي السَّفَرِ : اجْتَهَدَ عَارِفٌ بِأَدِلَّتِهَا، وَقَلَّدَ غَيْرُهُ، وَإِنْ صَلَّى
بِلَا أَحَدِهِمَا مَعَ القُدْرَةِ : قَضَى مُطْلَقًا.
Jika arah kiblat tidak
jelas saat sedang dalam perjalanan, maka seseorang yang memahami tanda-tandanya
harus berusaha menentukan arah kiblat dengan ijtihad. Sedangkan yang tidak
memahaminya, boleh mengikuti orang lain [taklid]. Jika seseorang salat tanpa
ijtihad atau tanpa mengikuti orang lain padahal mampu melakukannya, maka
salatnya harus diulang tanpa syarat.
السَّادِسُ : النِّيَّةُ، فَيَجِبُ تَعْيينُ مُعَيّنةٍ.
Rukun keenam adalah niat. Dalam niat, wajib
menentukan jenis salat yang akan dilakukan.
وَسُنَّ مُقَارَنتها
لِتَكْبِيرَةِ إِحْرَامٍ، وَلَا يَضُرُّ تَقْدِيمُهَا عَلَيْهَا بِيَسيرٍ.
Disunnahkan untuk menyertakan niat saat
takbiratul ihram, tetapi tidak masalah jika niat dilakukan sedikit sebelum
takbir.
وَشُرِطَ : نِيَّةُ
إِمَامَةٍ وَائتِمَامٍ، وَلِمُؤْتَمٍّ الْ انْفِرَادٌ لِعُذْرٍ.
Dipersyaratkan adanya
niat menjadi imam atau makmum. Bagi makmum, diperbolehkan salat sendiri jika
ada udzur.
وَتَبْطُلُ صَلَاتُهُ بِبُطْلَانِ
صَلَاة إِمَامِهِ، لَا عَكْسُهُ إِنْ نَوَى إِمَامٌ الانْفِرَادَ، والله أَعْلَمُ.
Jika salat imamnya
batal, maka salat makmum juga batal[2].
Namun, sebaliknya, jika imam berniat salat sendiri, hal itu tidak membatalkan
salat makmum. Dan Allah lebih mengetahui.
[1] Ada pertanyaan dari peserta WAG : “Afwan tanya Ust, menutup aurat
dengan sesuatu sehingga kulit seseorang tidak bisa disifatkan. (ما لا يصف البشرة) Mohon penjelasan lebih rinci..Sifat tersebut apakah secara
penglihatan saja? Syukran”
Disebutkan di dalam kitab ad-Dalâil wal
Isyârot hal 142 ketika mengomentari tentang [بما لا يصف البشرة] :
أن
يستر عورته (بمَا لَا يَصِفُ البَشَرَةَ) أي : لون بشرة العورة من بياض أو سواد؛ لأن
الستر إنما يحصل بذلك، ففي حديث أبي هريرة مرفوعًا
:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ
أَرَهُمَا
ثم
قال :
وَنِسَاءً
كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلات مائلات
ومن
معاني الكاسيات العاريات : أن تلبس ثوبا تكتسى به لكنه يصف البشرة . فإن ستر اللون
ووصف حجم الأعضاء فلا بأس، لأن البشرة مستورة وهذا لا يمكن التحرز منه.
Hendaknya seseorang menutupi auratnya
dengan sesuatu yang tidak memperlihatkan warna kulit.
Maksudnya adalah warna kulit aurat, baik
itu putih atau hitam, karena penutup aurat hanya dianggap menutup jika tidak
memperlihatkan warna kulit.
Dalam hadis Abu Hurairah yang marfu':
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا:
"Dua golongan dari penghuni neraka
yang aku belum pernah melihatnya."
Kemudian Nabi bersabda:
وَنِسَاءً
كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلات مائلات:
"Wanita-wanita yang berpakaian
tetapi telanjang, menggoda dan condong (kepada keburukan)."
Salah satu makna wanita yang berpakaian
tetapi telanjang adalah mereka memakai pakaian, tetapi pakaian itu
memperlihatkan warna kulit.
Jika pakaian itu menutupi warna kulit
tetapi menonjolkan bentuk anggota tubuh, maka itu tidak mengapa.
Karena warna kulit sudah tertutupi, dan
hal ini sulit untuk dihindari sepenuhnya.
[2] Ada pertanyaan dari
peserta WAG Belajar Akhsor Mukhtasorot, “)Jika salat imamnya batal, maka salat makmum
juga batal. Namun, sebaliknya, jika imam berniat salat sendiri, hal itu tidak
membatalkan salat makmum. Dan Allah lebih mengetahui(. Apakah berlaku juga jika imam diganti
oleh makmum yang dibelakang untuk menjadi imam badal, kemudian sholat makmum
tetap batal?”
Disebutkan oleh
Syaikh al-Qu'aimiy di dalam kitabnya ar-Riyadh an-Nadhirot hal 232 :
وتبطل
صلاته، أي : المأموم (ببطلان صلاة إمامه) لارتباطها بها، سواء كان بطلان صلاة الإمام
لعذر أو غيره، فلا استخلاف إن سبقه الحدث (لا عكسه) أي : لا تبطل صلاة إمام ببطلان
صلاة مأموم (إن نوى إمام الانفراد). قال في المنتهى وشرحه : ويتمها الإمام منفردا إن
لم يكن معه غير من بطلت صلاته.
Shalat seorang
makmum menjadi batal, yakni apabila shalat imamnya batal, karena shalat makmum
terkait dengan shalat imamnya. Baik batalnya shalat imam itu disebabkan oleh
uzur ataupun selainnya. Jika shalat imam batal karena hadas sebelum imam
mendahului menunjuk pengganti (istikhlaaf), maka tidak ada istikhlaaf.
Adapun
kebalikannya, yaitu shalat imam tidak menjadi batal karena batalnya shalat
makmum, selama imam berniat untuk melanjutkan shalatnya secara sendiri
(munfarid).
Disebutkan dalam
Al-Muntaha dan syarahnya: "Jika tidak ada makmum yang tersisa bersama imam
selain orang-orang yang shalatnya telah batal, maka imam menyempurnakan
shalatnya sebagai seorang yang shalat sendiri (munfarid)."
Jika seorang
imam batal shalatnya karena hadas (misalnya, buang angin, kencing, atau hal
lainnya yang membatalkan wudhu) sebelum ia sempat menunjuk pengganti
(istikhlaaf) untuk melanjutkan shalat sebagai imam, maka shalat berjamaah
tersebut tidak dapat dilanjutkan dengan penggantian imam. Dalam kondisi ini,
makmum harus menyelesaikan shalatnya masing-masing secara individu.
Tidak ada
istikhlaaf di sini berarti imam kehilangan kesempatan untuk menunjuk orang lain
sebagai pengganti karena hadasnya terjadi sebelum ia sempat melakukan itu.
Dalil
praktik : Diriwayatkan bahwa Umar
bin Khattab ditikam oleh Abu Lu’luah ketika menjadi imam shalat Subuh. Ketika
merasa tidak mampu melanjutkan shalat, Umar MENARIK Abdurrahman bin Auf
radhiyallahu ‘anhu untuk menggantikannya. Abdurrahman melanjutkan shalat dan
jamaah menyelesaikan shalat mereka.