Pasal : Sifat shalat
يُسَنُ : خُرُوجُهُ إِلَيْهَا مُتَطَهِّرًا، بِسَكِينَةٍ
وَوَقَارٍ[1]،
مَعَ قَوْلِ مَا وَرَدَ، وَقِيَامُ إِمَامٍ فَغَيْرِ مُقِيمٍ إِلَيْهَا عِنْدَ قَوْلِ
مُقِيمٍ : »قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ«
Disunnahkan bagi
seseorang keluar menuju shalat dalam keadaan suci, penuh ketenangan dan
kewibawaan, serta membaca dzikir yang diriwayatkan. Imam dan selainnya disunnahkan
berdiri menuju tempat shalat ketika muadzin (yang iqamah) mengucapkan:
»قَدْ قَامَتِ
الصَّلَاةُ«
(shalat akan segera
didirikan).
فَيَقُولُ : »اللهُ أَكْبَرُ«، وَهُوَ قَائِمٌ فِي فَرْضٍ، رَافِعًا
يَدَيْهِ إِلَى حَذْوِ مَنْكِبَيْهِ، ثُمَّ يَقْبِضُ بِيُمْنَاهُ كُوعَ يُسْرَاهُ،
وَيَجْعَلُهُمَا تَحْتَ سُرَّتِهِ، وَيَنْظُرُ مَسْجِدَهُ فِي كُلِّ صَلَاتِهِ، ثُمَّ
يَقُولُ : »سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ،
وَلَا إِلهَ غَيْرُكَ.
«
Kemudian ia (imam)
mengucapkan takbir «اللهُ أَكْبَرُ» sambil berdiri saat melaksanakan shalat
fardhu, mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya. Setelah itu, ia
meletakkan tangan kanannya di atas pergelangan tangan kirinya dan meletakkannya
di bawah pusar[2], serta mengarahkan pandangannya ke tempat
sujud sepanjang shalat. Selanjutnya, ia membaca doa pembuka (iftitah):
»سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ،
وَلَا إِلهَ غَيْرُكَ«
ثُمَّ يَسْتَعِيذُ، ثُمَّ يُبَسْمِلُ سِرًّا، ثُمَّ يَقْرَأُ
الفَاتِحَةَ مُرَتَّبَةً، مُتَوَالِيَةً، وَفِيهَا إِحْدَى عَشْرَةَ تَشْدِيدَةً، وَإِذَا
فَرَغَ قَالَ : »اَمِينَ«، يَجْهَرُ بِهَا
إِمَامٌ وَمَأْمُومٌ مَعًا فِي جَهْرِيَّةٍ، وَغَيْرُهُمَا فِيمَا يَجْهَرُ فِيهِ.
Kemudian ia membaca
ta'awwudz, dilanjutkan dengan membaca basmalah secara perlahan. Selanjutnya, ia
membaca Al-Fatihah secara tertib dan berkesinambungan, yang di dalamnya
terdapat sebelas tasydid. Setelah selesai membaca Al-Fatihah, ia mengucapkan «آمِينَ». Dalam shalat jahriyyah, imam dan makmum
disunnahkan mengucapkan «آمِينَ»
dengan suara keras secara
bersama-sama, sedangkan dalam shalat selain jahriyyah, tidak disunnahkan
mengeraskannya.
وَيُسَنُّ جَهْرُ إِمَامٍ بِقِرَاءَةِ صُبْحٍ، وَجُمُعَةٍ،
وَعِيدٍ، وَكُسُوفٍ، وَاسْتِسْقَاءٍ،
Disunnahkan pula bagi
imam untuk membaca dengan suara keras dalam shalat Subuh, shalat Jumat, shalat
Idul Fitri, shalat Idul Adha, shalat gerhana, dan shalat istisqa'.
وَأُولَيَي مَغْرِبٍ وَعِشَاءٍ، وَيُكْرَهُ لِمَأْمُومٍ،
وَيُحَيَّرُ مُنْفَرِدٌ وَنَحْوُهُ.
Dan (disunnahkan juga)
membaca dengan suara keras (jahar) pada dua rakaat pertama Maghrib dan Isya.
Namun, makruh bagi makmum untuk mengeraskan bacaan, sedangkan bagi orang yang
shalat sendirian diberi pilihan.[3]
ثُمَّ يَقْرَأْ بَعْدَهَا سُورَةً فِي الصُّبْحِ : مِنْ طِوَالِ
المُفَصَّلِ، وَالمَغْرِبِ : مِنْ قِصَارِهِ، وَالبَاقِي : مِنْ أَوْسَاطِهِ.
Setelah membaca
Al-Fatihah, dalam shalat Subuh, dianjurkan membaca dari surah-surah panjang
dalam bagian mufashshal, dalam shalat Maghrib dari surah-surah pendeknya, dan
pada shalat lainnya dari surah-surah pertengahan.[4]
ثُمَّ يَرْكَعُ مُكَبِّرًا رَافِعًا يَدَيْهِ، ثُمَّ يَضَعُهُمَا
عَلَى رُكْبَتَيْهِ مُفَرَّجَتَي الأَصَابِعِ، وَيُسَوِّي ظَهْرَهُ، وَيَقُولُ : »سُبْحَانَ رَبِّيَ
العَظِيمِ« ثَلَاثًا ، وَهُوَ أَدْنَى الْكَمَالِ.
Setelah itu, rukuk
sambil bertakbir dan mengangkat kedua tangannya, lalu meletakkannya di atas
kedua lutut dengan jari-jari direnggangkan. Punggungnya diluruskan, dan dia
membaca: «سُبْحَانَ رَبِّيَ العَظِيمِ» Sebanyak tiga kali, yang merupakan jumlah
minimal untuk kesempurnaan.
ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَدَيْهِ مَعَهُ، قَائِلًا: »سَمِعَ اللهُ
لِمَنْ حَمِدَهُ«، وَبَعْدَ انْتِصَابِهِ
: »رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ، مِلْءَ السَّمَاءِ وَمِلْءَ الأَرْضِ، وَمِلْءَ مَا
شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ«، وَمَأْمُومٌ: «رَبَّنَا وَلَكَ
الحَمْدُ« فَقَطْ فِي رَفْعِهِ.
Selanjutnya, dia
bangkit dari rukuk sambil mengangkat kepala dan tangannya, seraya mengucapkan:
»سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ«
Setelah berdiri tegak,
dia membaca:
»رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ، مِلْءَ السَّمَاءِ وَمِلْءَ الأَرْضِ، وَمِلْءَ مَا
شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ«
Sedangkan makmum cukup
membaca: «رَبَّنَا وَلَكَ
الحَمْدُ» ketika bangkit dari rukuk.
ثُمَّ يُكَبِّرُ، وَيَسْجُدُ عَلَى الْأَعْضَاءِ السَّبْعَةِ،
فَيَضَعُ رُكْبَتَيْهِ، ثُمَّ يَدَيْهِ، ثُمَّ جَبْهَتَهُ وَأَنْفَهُ، وَسُنَّ : كَوْنُهُ
عَلَى أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ، وَمُجَافَاةُ عَضُدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ، وَبَطْنِهِ
عَنْ فَخِذَيْهِ، وَتَفْرِقَةُ رُكْبَتَيْهِ، وَيَقُولُ: »سُبْحَانَ رَبِّيَ
الأَعْلَى« ثَلَاثًا، وَهُوَ أَدْنَى الكَمَالِ.
Kemudian dia bertakbir
dan sujud dengan menggunakan tujuh anggota tubuh: lutut, kemudian tangan, lalu
dahi dan hidung. Disunnahkan saat sujud ujung jari kaki menghadap kiblat,
lengan tidak menempel pada tubuh, perut tidak menyentuh paha, dan lutut
direnggangkan. Dia membaca:
»رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى «
Sebanyak tiga kali,
yang merupakan jumlah minimal untuk kesempurnaan.
ثُمَّ يَرْفَعُ مُكَبِّرًا، وَيَجْلِسُ مُقْتَرِشًا، وَيَقُولُ:
»رَبِّ اغْفِرْ لِي« ثَلَاثًا، وَهُوَ أَكْمَلُهُ،
وَيَسْجُدُ الثَّانِيَةَ كَذَلِكَ.
Kemudian dia bangkit
dari sujud sambil bertakbir, duduk dengan posisi iftirash (pantat di atas kaki
kiri dan kaki kanan ditegakkan), dan membaca: «رَبِّ اغْفِرْ لِي» Sebanyak tiga kali, yang merupakan bentuk
sempurna. Lalu, dia sujud kedua dengan cara yang sama.
ثُمَّ يَنْهَضُ مُكَبِّرًا، مُعْتَمِدًا عَلَى رُكْبَتَيْهِ
بِيَدَيْهِ، فَإِنْ شَقَّ فَبِالأَرْضِ، فَيَأْتِي بِمِثْلِهَا غَيْرَ : النِّيَّةِ،
وَالتَّحْرِيمَةِ، وَالاسْتِفْتاحِ، وَالتَّعَوُّذِ إِنْ كَانَ تَعَوَّذَ.
Kemudian dia bangkit
sambil bertakbir, bertumpu pada kedua lutut dengan tangannya. Jika sulit, dia
boleh bertumpu pada tanah. Setelah itu, dia melakukan rakaat berikutnya seperti
sebelumnya, kecuali niat, takbiratul ihram, doa istiftah, dan isti’adzah jika
sudah membacanya di rakaat pertama.
ثُمَّ يَجْلِسُ مُفْتَرِشًا، وَسُنَّ : وَضْعُ يَدَيْهِ عَلَى
فَخِذَيْهِ، وَقَبْضُ الخِنْصِرِ وَالبِنْصِرِ مِنْ يُمْنَاهُ، وَتَحْلِيقُ إِبْهَامِهَا
مَعَ الوُسْطَى، وَإِ شَارَتُهُ بِسَبَّابَتِهَا
فِي تَشَهُّدٍ وَدُعَاءٍ عِنْدَ ذِكْرِ اللَّهِ، مُطْلَقًا، وَبَسْطُ اليُسْرَى.
Setelah itu, dia duduk
dengan posisi iftirash, disunnahkan meletakkan kedua tangan di atas paha,
tangan kanan menggenggam jari kelingking dan jari manis, ibu jari membentuk
lingkaran dengan jari tengah, sementara jari telunjuk menunjuk ke depan saat
menyebut nama Allah dalam tasyahud dan doa. Sementara tangan kiri diletakkan
terbuka di atas paha.
ثُمَّ يَتَشَهَّدُ فَيَقُولُ : »التَّحِيَّاتُ
لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ
الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ«.
Kemudian ia membaca
tasyahud dan berkata:
»التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ
أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى
عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ«.
ثُمَّ يَنْهَضُ فِي مَعْرِبٍ وَرُبَاعِيَّةٍ مُكَبِّرًا،
وَيُصَلِّي البَاقِيَ كَذَلِكَ، سِرًّا، مُقْتَصِرًا عَلَى الفَاتِحَةِ.
Kemudian ia bangkit
(untuk rakaat berikutnya) dalam salat Magrib dan salat empat rakaat sambil
bertakbir, lalu melanjutkan rakaat berikutnya dengan membaca Al-Fatihah secara
sirr (pelan).
ثُمَّ يَجْلِسُ مُتَوَرِّكًا ، فَيَأْتِي بِالتَّشَهُّدِ
الأَوَّلِ، ثُمَّ يَقُولُ : »اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ،
وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ
إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيْدٌ«.
Kemudian ia duduk
tawarruk (duduk dengan posisi kaki kiri di bawah kaki kanan), lalu membaca
tasyahud awal dan berkata:
»اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى
آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيْدٌ«
وَسُنَّ أَنْ يَتَعَوَّذَ فَيَقُولَ : »أَعُوذُ
بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ القَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ
المَحْيَا وَالمَمَاتِ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَسِيح الدَّجَّالِ، اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوذُ بِكَ مِنَ المَأْثَمِ وَالمَغْرَمِ«، وَتَبْطُلُ بِدُعَاءٍ
بِأَمْرِ الدُّنْيَا.
Disunnahkan untuk
berlindung (kepada Allah) dengan berkata:
»أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ القَبْرِ، وَمِنْ
فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَسِيح الدَّجَّالِ، اللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ المَأْثَمِ وَالمَغْرَمِ«
"Aku berlindung kepada Allah dari azab neraka
Jahannam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, serta dari
fitnah Al-Masih Ad-Dajjal. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan
utang,"
Dan shalat menjadi
batal jika berdoa untuk perkara dunia.
ثُمَّ يَقُولُ عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ عَنْ يَسَارِهِ : »السَّلَامُ
عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ«، مُرَتَّبًا، مُعَرَّفًا
وُجُوبًا.
Selanjutnya, dia
mengucapkan salam ke arah kanannya, lalu ke arah kirinya: «السَّلَامُ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَةُ اللَّهِ» secara tertib dan diperjelas (ucapannya)
karena hal ini wajib.
وَامْرَأَةٌ كَرَجُلٍ، لَكِنْ : تَجْمَعُ نَفْسَهَا،
وَتَجْلِسُ مُتَرَبِّعَةً، أَوْ مُسْدِلَةً رِجْلَيْهَا عَنْ يَمِينِهَا، وَهُوَ
أَفْضَلُ.
Perempuan (melakukan
salat) seperti laki-laki, tetapi ia merapatkan tubuhnya, duduk bersila, atau
meluruskan kakinya ke sisi kanan, dan itu lebih utama.
وَكُرِهَ فِيهَا : الْتِفَاتٌ وَنَحْوُهُ بِلَا حَاجَةٍ،
وَإِقْعَاءٌ، وَافْتِرَاشُ ذِرَاعَيْهِ سَاجِدًا، وَعَبَثٌ وَتَخَصُّرٌ، وَفَرْقَعَةُ
أَصَابِعَ، وَتَشْبِيكُهَا، وَكَوْنُهُ حَاقِنًا وَنَحْوَهُ، وَتَائِقًا لِطَعَامٍ
وَنَحْوِهِ.
Dimakruhkan dalam
salat berpaling tanpa kebutuhan, duduk iq‘a (seperti anjing), membentangkan
kedua lengan saat sujud, bermain-main, bertolak pinggang, mematahkan jari-jari,
menyilangkan jari-jari, salat dalam keadaan menahan buang air kecil atau
sejenisnya, serta dalam keadaan lapar terhadap makanan atau sejenisnya.
[1] Syaikh Muhammad bin
Nashir al-‘Ajmiy memberikan komentarnya pada kitabnya Syarh Akhsor Mukhtasorot
hal 105 :
بفتح السين وكسر الكاف : التأني في الحركات، والوقار
بفتح الواو : غض النظر وعدم الالتفات
Dengan
membaca fathah pada huruf س dan kasroh pada huruf ك : artinya
melakukan gerakan dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Sedangkan [الوقار]
dengan membaca fathah pada huruf و : artinya
menundukkan pandangan dan tidak menoleh ke sekitar.
[2] Syaikh Ahmad bin Nashir
al-Qu'aiymiy di dalam kitabnya al-Hawasyiy as-Sabighot hal 87 :
لِقَوْلِ
عَلِيٍّ :
مِنَ السُّنَّةِ وَضْعُ الْيَمِينِ عَلَى الشِّمَالِ تَحْتَ السُّرَّةِ، رَوَاهُ
أَحْمَدُ، وَضَعَّفَهُ النَّوَوِيُّ، وَابْنُ الْجَوْزِيِّ وَالْحَافِظُ،
وَالْأَلْبَانِيُّ، لَكِنْ صَحَّحَهُ حَلَّاقٌ فِي تَحْقِيقِهِ لِلْمُنْتَقَى
لِمَجْدِ الدِّينِ أَبِي الْبَرَكَاتِ. وَقِيلَ: إِنَّ وَضْعَهُمَا تَحْتَ
السُّرَّةِ أَدْعَى لِتَرَاصِّ صُفُوفِ الْمُصَلِّينَ، بَلْ يُكْرَهُ فِي
الْمَذْهَبِ أَنْ يَجْعَلَ يَدَيْهِ عَلَى صَدْرِهِ، نَصَّ عَلَيْهِ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ - كَمَا ذَكَرَ صَاحِبُ الْكَشَّافِ - مَعَ أَنَّهُ رَوَاهُ فِي حَدِيثِ
وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، لَكِنْ هَذَا الْحَدِيثُ مُتَكَلَّمٌ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ
الْأَلْبَانِيُّ قَدْ صَحَّحَهُ، وَالرِّوَايَةُ الْأُخْرَى فِي الْمَذْهَبِ:
أَنَّهُ يُخَيَّرُ، فَلَهُ وَضْعُهُمَا فَوْقَ السُّرَّةِ أَوْ تَحْتَهَا.
Diriwayatkan
dari Ali bahwa termasuk bagian dari sunnah adalah meletakkan tangan kanan di
atas tangan kiri di bawah pusar. Riwayat ini disebutkan oleh Ahmad, namun
dinilai lemah oleh An-Nawawi, Ibnul Jauzi, Al-Hafizh, dan Al-Albani. Namun,
Al-Hallaq dalam tahqiqnya terhadap kitab Al-Muntaqa karya Majduddin Abu Barakat
menyatakan bahwa riwayat tersebut shahih.
Dikatakan pula
bahwa meletakkan tangan di bawah pusar lebih membantu dalam menyatukan dan
merapatkan barisan para jamaah shalat. Bahkan dalam mazhab Hanbali, hukumnya
makruh meletakkan tangan di atas dada. Hal ini ditegaskan oleh Imam Ahmad,
sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Kasysyaf. Meskipun ada riwayat dari hadis
Wail bin Hujr yang menunjukkan peletakan tangan di atas dada, hadis ini
diperselisihkan keabsahannya, meskipun Al-Albani menilainya shahih.
Adapun riwayat
lain dalam mazhab Hanbali menyatakan bahwa seseorang diberi kebebasan memilih,
sehingga ia boleh meletakkan tangannya di atas atau di bawah pusar.
[3] Peserta grup WA Belajar
Akhsor Mukhtasorot bertanya,
“Izin bertanya
ustadz bagi perempuan yg sering sholat sendiri dirumah. Bolehkan disemua waktu
sholat, baik sholat subuh, zhuhur, ashar, magrib isya atau sholat sunnah
mengeraskan sedikit ayat yg dibaca ustadz,melebihi suara saat berbisik. (Bukan
seperti kerasnya bacaan imam) Krn ingin
sholat sekalian melatih hafakan alquran.”
Abu Qatâdah
berkata:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً فَإِذَا هُوَ بِأَبِي
بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُصَلِّي يَخْفِضُ مِنْ صَوْتِهِ قَالَ وَمَرَّ بِعُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ وَهُوَ يُصَلِّي رَافِعًا صَوْتَهُ قَالَ فَلَمَّا اجْتَمَعَا عِنْدَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ مَرَرْتُ بِكَ
وَأَنْتَ تُصَلِّي تَخْفِضُ صَوْتَكَ قَالَ قَدْ أَسْمَعْتُ مَنْ نَاجَيْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ وَقَالَ لِعُمَرَ مَرَرْتُ بِكَ وَأَنْتَ تُصَلِّي رَافِعًا صَوْتَكَ
قَالَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُوقِظُ الْوَسْنَانَ وَأَطْرُدُ الشَّيْطَانَ زَادَ
الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا
أَبَا بَكْرٍ ارْفَعْ مِنْ صَوْتِكَ شَيْئًا وَقَالَ لِعُمَرَ اخْفِضْ مِنْ صَوْتِكَ
شَيْئًا
Bahwasanya suatu
malam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah dan mendapati Abu Bakar
Radhiyallahu anhu shalat malam dengan merendahkan suaranya. Dan beliau melewati
‘Umar bin al-Khaththab ketika sedang shalat dengan meninggikan suaranya. Ketika
keduanya telah berkumpul di dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda: “Wahai Abu Bakar, aku melewatimu ketika engkau sedang shalat dengan
merendahkan suaramu”. Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, aku memperdengarkan
kepada (Allah) yang aku berbisik kepada-Nya”. Beliau juga bersabda kepada
‘Umar: “Aku melewatimu ketika engkau sedang shalat dengan meninggikan suaramu”.
‘Umar berkata: “Wahai Rasulullah, aku membangunkan orang yang mengantuk dan
mengusir setan,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu
Bakar, tinggikan suaramu sedikit”. Beliau juga bersabda kepada ‘Umar: “Wahai
‘Umar, rendahkan suaramu sedikit”. [HR Abu Dawud, no. 1329, al-Hakim.
Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni].
Referensi : https://almanhaj.or.id/2544-bacaan-shalat-jahr-dan-adzan-bagi-yang-shalat-sendirian.html
“Boleh minta
kesimpulannya ya ustadz, ana kurang memahaminya krn disana ada kata meninggikan
dan merendahkan suara. Dan hukumnya untuk keadaan yg ana tanyakan”
Syaikh al-Qu'aimiy
menyebutkan di dalam kitabnya ar-Riyadh an-Nadhirot hal 240-241 :
ويخير
منفرد ونحوه كاقائم لقضاء ما فاته بين جهر وإخفات وتقدم قريبا، ولا بأس بجهر امرأة
إذا لم يسمعها أجنبي، وخنثى مثلها، قاله في الإقناع.
Orang yang shalat
sendirian (munfarid) dan yang serupa dengannya, seperti orang yang berdiri
untuk menggantikan shalat yang terlewat, diberi pilihan antara membaca dengan
suara keras (jahar) atau pelan (ikhfa). Hal ini telah dijelaskan sebelumnya.
Dan tidak masalah bagi
seorang wanita untuk mengeraskan bacaannya (jahar), selama suaranya tidak
terdengar oleh orang asing (bukan mahram). Hal yang sama juga berlaku untuk
seorang khuntsa (orang yang memiliki ciri-ciri kelamin ganda), seperti yang
dijelaskan dalam kitab Al-Iqna'.
[4] Syaikh al-Qu'aimiy memberikan catatan kakinya
terkait bacaan dalam shalat : Surat-surat panjang : Surat Qof sampai akhir
surat al Mursalat. Surat pertengahan : An Naba' - Al lail. Surat pendek : Ad
Duha - Surat an nas.