HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar
Kamus Hafalan Durusul Lughah Jilid 2

Pasal : Sifat shalat

 

يُسَنُ : خُرُوجُهُ إِلَيْهَا مُتَطَهِّرًا، بِسَكِينَةٍ وَوَقَارٍ[1]، مَعَ قَوْلِ مَا وَرَدَ، وَقِيَامُ إِمَامٍ فَغَيْرِ مُقِيمٍ إِلَيْهَا عِنْدَ قَوْلِ مُقِيمٍ : »قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ«

Disunnahkan bagi seseorang keluar menuju shalat dalam keadaan suci, penuh ketenangan dan kewibawaan, serta membaca dzikir yang diriwayatkan. Imam dan selainnya disunnahkan berdiri menuju tempat shalat ketika muadzin (yang iqamah) mengucapkan:

»قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ«

(shalat akan segera didirikan).

فَيَقُولُ : »اللهُ أَكْبَرُ«، وَهُوَ قَائِمٌ فِي فَرْضٍ، رَافِعًا يَدَيْهِ إِلَى حَذْوِ مَنْكِبَيْهِ، ثُمَّ يَقْبِضُ بِيُمْنَاهُ كُوعَ يُسْرَاهُ، وَيَجْعَلُهُمَا تَحْتَ سُرَّتِهِ، وَيَنْظُرُ مَسْجِدَهُ فِي كُلِّ صَلَاتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ : »سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلهَ غَيْرُكَ. «

Kemudian ia (imam) mengucapkan takbir «اللهُ أَكْبَرُ» sambil berdiri saat melaksanakan shalat fardhu, mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya. Setelah itu, ia meletakkan tangan kanannya di atas pergelangan tangan kirinya dan meletakkannya di bawah pusar[2], serta mengarahkan pandangannya ke tempat sujud sepanjang shalat. Selanjutnya, ia membaca doa pembuka (iftitah):

»سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلهَ غَيْرُكَ«

ثُمَّ يَسْتَعِيذُ، ثُمَّ يُبَسْمِلُ سِرًّا، ثُمَّ يَقْرَأُ الفَاتِحَةَ مُرَتَّبَةً، مُتَوَالِيَةً، وَفِيهَا إِحْدَى عَشْرَةَ تَشْدِيدَةً، وَإِذَا فَرَغَ قَالَ : »اَمِينَ«، يَجْهَرُ بِهَا إِمَامٌ وَمَأْمُومٌ مَعًا فِي جَهْرِيَّةٍ، وَغَيْرُهُمَا فِيمَا يَجْهَرُ فِيهِ.

Kemudian ia membaca ta'awwudz, dilanjutkan dengan membaca basmalah secara perlahan. Selanjutnya, ia membaca Al-Fatihah secara tertib dan berkesinambungan, yang di dalamnya terdapat sebelas tasydid. Setelah selesai membaca Al-Fatihah, ia mengucapkan «آمِينَ». Dalam shalat jahriyyah, imam dan makmum disunnahkan mengucapkan «آمِينَ» dengan suara keras secara bersama-sama, sedangkan dalam shalat selain jahriyyah, tidak disunnahkan mengeraskannya.

وَيُسَنُّ جَهْرُ إِمَامٍ بِقِرَاءَةِ صُبْحٍ، وَجُمُعَةٍ، وَعِيدٍ، وَكُسُوفٍ، وَاسْتِسْقَاءٍ،

Disunnahkan pula bagi imam untuk membaca dengan suara keras dalam shalat Subuh, shalat Jumat, shalat Idul Fitri, shalat Idul Adha, shalat gerhana, dan shalat istisqa'.

وَأُولَيَي مَغْرِبٍ وَعِشَاءٍ، وَيُكْرَهُ لِمَأْمُومٍ، وَيُحَيَّرُ مُنْفَرِدٌ وَنَحْوُهُ.

Dan (disunnahkan juga) membaca dengan suara keras (jahar) pada dua rakaat pertama Maghrib dan Isya. Namun, makruh bagi makmum untuk mengeraskan bacaan, sedangkan bagi orang yang shalat sendirian diberi pilihan.[3]

ثُمَّ يَقْرَأْ بَعْدَهَا سُورَةً فِي الصُّبْحِ : مِنْ طِوَالِ المُفَصَّلِ، وَالمَغْرِبِ : مِنْ قِصَارِهِ، وَالبَاقِي : مِنْ أَوْسَاطِهِ.

Setelah membaca Al-Fatihah, dalam shalat Subuh, dianjurkan membaca dari surah-surah panjang dalam bagian mufashshal, dalam shalat Maghrib dari surah-surah pendeknya, dan pada shalat lainnya dari surah-surah pertengahan.[4]

ثُمَّ يَرْكَعُ مُكَبِّرًا رَافِعًا يَدَيْهِ، ثُمَّ يَضَعُهُمَا عَلَى رُكْبَتَيْهِ مُفَرَّجَتَي الأَصَابِعِ، وَيُسَوِّي ظَهْرَهُ، وَيَقُولُ : »سُبْحَانَ رَبِّيَ العَظِيمِ« ثَلَاثًا ، وَهُوَ أَدْنَى الْكَمَالِ.

Setelah itu, rukuk sambil bertakbir dan mengangkat kedua tangannya, lalu meletakkannya di atas kedua lutut dengan jari-jari direnggangkan. Punggungnya diluruskan, dan dia membaca: «سُبْحَانَ رَبِّيَ العَظِيمِ» Sebanyak tiga kali, yang merupakan jumlah minimal untuk kesempurnaan.

ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَدَيْهِ مَعَهُ، قَائِلًا: »سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ«، وَبَعْدَ انْتِصَابِهِ : »رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ، مِلْءَ السَّمَاءِ وَمِلْءَ الأَرْضِ، وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ«، وَمَأْمُومٌ: «رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ« فَقَطْ فِي رَفْعِهِ. 

Selanjutnya, dia bangkit dari rukuk sambil mengangkat kepala dan tangannya, seraya mengucapkan:

 »سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ«

Setelah berdiri tegak, dia membaca:

 »رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ، مِلْءَ السَّمَاءِ وَمِلْءَ الأَرْضِ، وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ«

Sedangkan makmum cukup membaca: «رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ» ketika bangkit dari rukuk.

ثُمَّ يُكَبِّرُ، وَيَسْجُدُ عَلَى الْأَعْضَاءِ السَّبْعَةِ، فَيَضَعُ رُكْبَتَيْهِ، ثُمَّ يَدَيْهِ، ثُمَّ جَبْهَتَهُ وَأَنْفَهُ، وَسُنَّ : كَوْنُهُ عَلَى أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ، وَمُجَافَاةُ عَضُدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ، وَبَطْنِهِ عَنْ فَخِذَيْهِ، وَتَفْرِقَةُ رُكْبَتَيْهِ، وَيَقُولُ: »سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى« ثَلَاثًا، وَهُوَ أَدْنَى الكَمَالِ.

Kemudian dia bertakbir dan sujud dengan menggunakan tujuh anggota tubuh: lutut, kemudian tangan, lalu dahi dan hidung. Disunnahkan saat sujud ujung jari kaki menghadap kiblat, lengan tidak menempel pada tubuh, perut tidak menyentuh paha, dan lutut direnggangkan. Dia membaca:

»رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى «

Sebanyak tiga kali, yang merupakan jumlah minimal untuk kesempurnaan.

ثُمَّ يَرْفَعُ مُكَبِّرًا، وَيَجْلِسُ مُقْتَرِشًا، وَيَقُولُ: »رَبِّ اغْفِرْ لِي« ثَلَاثًا، وَهُوَ أَكْمَلُهُ، وَيَسْجُدُ الثَّانِيَةَ كَذَلِكَ.

Kemudian dia bangkit dari sujud sambil bertakbir, duduk dengan posisi iftirash (pantat di atas kaki kiri dan kaki kanan ditegakkan), dan membaca: «رَبِّ اغْفِرْ لِي» Sebanyak tiga kali, yang merupakan bentuk sempurna. Lalu, dia sujud kedua dengan cara yang sama.

ثُمَّ يَنْهَضُ مُكَبِّرًا، مُعْتَمِدًا عَلَى رُكْبَتَيْهِ بِيَدَيْهِ، فَإِنْ شَقَّ فَبِالأَرْضِ، فَيَأْتِي بِمِثْلِهَا غَيْرَ : النِّيَّةِ، وَالتَّحْرِيمَةِ، وَالاسْتِفْتاحِ، وَالتَّعَوُّذِ إِنْ كَانَ تَعَوَّذَ.

Kemudian dia bangkit sambil bertakbir, bertumpu pada kedua lutut dengan tangannya. Jika sulit, dia boleh bertumpu pada tanah. Setelah itu, dia melakukan rakaat berikutnya seperti sebelumnya, kecuali niat, takbiratul ihram, doa istiftah, dan isti’adzah jika sudah membacanya di rakaat pertama.

ثُمَّ يَجْلِسُ مُفْتَرِشًا، وَسُنَّ : وَضْعُ يَدَيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَبْضُ الخِنْصِرِ وَالبِنْصِرِ مِنْ يُمْنَاهُ، وَتَحْلِيقُ إِبْهَامِهَا مَعَ الوُسْطَى، وَإِ شَارَتُهُ بِسَبَّابَتِهَا فِي تَشَهُّدٍ وَدُعَاءٍ عِنْدَ ذِكْرِ اللَّهِ، مُطْلَقًا، وَبَسْطُ اليُسْرَى.

Setelah itu, dia duduk dengan posisi iftirash, disunnahkan meletakkan kedua tangan di atas paha, tangan kanan menggenggam jari kelingking dan jari manis, ibu jari membentuk lingkaran dengan jari tengah, sementara jari telunjuk menunjuk ke depan saat menyebut nama Allah dalam tasyahud dan doa. Sementara tangan kiri diletakkan terbuka di atas paha.

ثُمَّ يَتَشَهَّدُ فَيَقُولُ : »التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ«.

Kemudian ia membaca tasyahud dan berkata:

»التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ«.

ثُمَّ يَنْهَضُ فِي مَعْرِبٍ وَرُبَاعِيَّةٍ مُكَبِّرًا، وَيُصَلِّي البَاقِيَ كَذَلِكَ، سِرًّا، مُقْتَصِرًا عَلَى الفَاتِحَةِ.

Kemudian ia bangkit (untuk rakaat berikutnya) dalam salat Magrib dan salat empat rakaat sambil bertakbir, lalu melanjutkan rakaat berikutnya dengan membaca Al-Fatihah secara sirr (pelan).

ثُمَّ يَجْلِسُ مُتَوَرِّكًا ، فَيَأْتِي بِالتَّشَهُّدِ الأَوَّلِ، ثُمَّ يَقُولُ : »اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيْدٌ«.

Kemudian ia duduk tawarruk (duduk dengan posisi kaki kiri di bawah kaki kanan), lalu membaca tasyahud awal dan berkata:

»اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيْدٌ«

وَسُنَّ أَنْ يَتَعَوَّذَ فَيَقُولَ : »أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ القَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَسِيح الدَّجَّالِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ المَأْثَمِ وَالمَغْرَمِ«، وَتَبْطُلُ بِدُعَاءٍ بِأَمْرِ الدُّنْيَا.

Disunnahkan untuk berlindung (kepada Allah) dengan berkata:

»أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ القَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالمَمَاتِ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَسِيح الدَّجَّالِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ المَأْثَمِ وَالمَغْرَمِ«

"Aku berlindung kepada Allah dari azab neraka Jahannam, dari azab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, serta dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang,"

Dan shalat menjadi batal jika berdoa untuk perkara dunia.

ثُمَّ يَقُولُ عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ عَنْ يَسَارِهِ : »السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ«، مُرَتَّبًا، مُعَرَّفًا وُجُوبًا.

Selanjutnya, dia mengucapkan salam ke arah kanannya, lalu ke arah kirinya: «السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ» secara tertib dan diperjelas (ucapannya) karena hal ini wajib.

وَامْرَأَةٌ كَرَجُلٍ، لَكِنْ : تَجْمَعُ نَفْسَهَا، وَتَجْلِسُ مُتَرَبِّعَةً، أَوْ مُسْدِلَةً رِجْلَيْهَا عَنْ يَمِينِهَا، وَهُوَ أَفْضَلُ.

Perempuan (melakukan salat) seperti laki-laki, tetapi ia merapatkan tubuhnya, duduk bersila, atau meluruskan kakinya ke sisi kanan, dan itu lebih utama.

وَكُرِهَ فِيهَا : الْتِفَاتٌ وَنَحْوُهُ بِلَا حَاجَةٍ، وَإِقْعَاءٌ، وَافْتِرَاشُ ذِرَاعَيْهِ سَاجِدًا، وَعَبَثٌ وَتَخَصُّرٌ، وَفَرْقَعَةُ أَصَابِعَ، وَتَشْبِيكُهَا، وَكَوْنُهُ حَاقِنًا وَنَحْوَهُ، وَتَائِقًا لِطَعَامٍ وَنَحْوِهِ.

Dimakruhkan dalam salat berpaling tanpa kebutuhan, duduk iq‘a (seperti anjing), membentangkan kedua lengan saat sujud, bermain-main, bertolak pinggang, mematahkan jari-jari, menyilangkan jari-jari, salat dalam keadaan menahan buang air kecil atau sejenisnya, serta dalam keadaan lapar terhadap makanan atau sejenisnya.



[1] Syaikh Muhammad bin Nashir al-‘Ajmiy memberikan komentarnya pada kitabnya Syarh Akhsor Mukhtasorot hal 105 :

بفتح السين وكسر الكاف : التأني في الحركات، والوقار بفتح الواو : غض النظر وعدم الالتفات

Dengan membaca fathah pada huruf س dan kasroh pada huruf ك : artinya melakukan gerakan dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Sedangkan [الوقار] dengan membaca fathah pada huruf و : artinya menundukkan pandangan dan tidak menoleh ke sekitar.

[2] Syaikh Ahmad bin Nashir al-Qu'aiymiy di dalam kitabnya al-Hawasyiy as-Sabighot hal 87 :

لِقَوْلِ عَلِيٍّ : مِنَ السُّنَّةِ وَضْعُ الْيَمِينِ عَلَى الشِّمَالِ تَحْتَ السُّرَّةِ، رَوَاهُ أَحْمَدُ، وَضَعَّفَهُ النَّوَوِيُّ، وَابْنُ الْجَوْزِيِّ وَالْحَافِظُ، وَالْأَلْبَانِيُّ، لَكِنْ صَحَّحَهُ حَلَّاقٌ فِي تَحْقِيقِهِ لِلْمُنْتَقَى لِمَجْدِ الدِّينِ أَبِي الْبَرَكَاتِ. وَقِيلَ: إِنَّ وَضْعَهُمَا تَحْتَ السُّرَّةِ أَدْعَى لِتَرَاصِّ صُفُوفِ الْمُصَلِّينَ، بَلْ يُكْرَهُ فِي الْمَذْهَبِ أَنْ يَجْعَلَ يَدَيْهِ عَلَى صَدْرِهِ، نَصَّ عَلَيْهِ الْإِمَامُ أَحْمَدُ - كَمَا ذَكَرَ صَاحِبُ الْكَشَّافِ - مَعَ أَنَّهُ رَوَاهُ فِي حَدِيثِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ، لَكِنْ هَذَا الْحَدِيثُ مُتَكَلَّمٌ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ الْأَلْبَانِيُّ قَدْ صَحَّحَهُ، وَالرِّوَايَةُ الْأُخْرَى فِي الْمَذْهَبِ: أَنَّهُ يُخَيَّرُ، فَلَهُ وَضْعُهُمَا فَوْقَ السُّرَّةِ أَوْ تَحْتَهَا.

Diriwayatkan dari Ali bahwa termasuk bagian dari sunnah adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar. Riwayat ini disebutkan oleh Ahmad, namun dinilai lemah oleh An-Nawawi, Ibnul Jauzi, Al-Hafizh, dan Al-Albani. Namun, Al-Hallaq dalam tahqiqnya terhadap kitab Al-Muntaqa karya Majduddin Abu Barakat menyatakan bahwa riwayat tersebut shahih.

Dikatakan pula bahwa meletakkan tangan di bawah pusar lebih membantu dalam menyatukan dan merapatkan barisan para jamaah shalat. Bahkan dalam mazhab Hanbali, hukumnya makruh meletakkan tangan di atas dada. Hal ini ditegaskan oleh Imam Ahmad, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Kasysyaf. Meskipun ada riwayat dari hadis Wail bin Hujr yang menunjukkan peletakan tangan di atas dada, hadis ini diperselisihkan keabsahannya, meskipun Al-Albani menilainya shahih.

Adapun riwayat lain dalam mazhab Hanbali menyatakan bahwa seseorang diberi kebebasan memilih, sehingga ia boleh meletakkan tangannya di atas atau di bawah pusar.

[3] Peserta grup WA Belajar Akhsor Mukhtasorot bertanya,

“Izin bertanya ustadz bagi perempuan yg sering sholat sendiri dirumah. Bolehkan disemua waktu sholat, baik sholat subuh, zhuhur, ashar, magrib isya atau sholat sunnah mengeraskan sedikit ayat yg dibaca ustadz,melebihi suara saat berbisik. (Bukan seperti kerasnya bacaan imam) Krn ingin  sholat sekalian melatih hafakan alquran.”

Abu Qatâdah berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً فَإِذَا هُوَ بِأَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُصَلِّي يَخْفِضُ مِنْ صَوْتِهِ قَالَ وَمَرَّ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَهُوَ يُصَلِّي رَافِعًا صَوْتَهُ قَالَ فَلَمَّا اجْتَمَعَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ مَرَرْتُ بِكَ وَأَنْتَ تُصَلِّي تَخْفِضُ صَوْتَكَ قَالَ قَدْ أَسْمَعْتُ مَنْ نَاجَيْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَقَالَ لِعُمَرَ مَرَرْتُ بِكَ وَأَنْتَ تُصَلِّي رَافِعًا صَوْتَكَ قَالَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُوقِظُ الْوَسْنَانَ وَأَطْرُدُ الشَّيْطَانَ زَادَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا بَكْرٍ ارْفَعْ مِنْ صَوْتِكَ شَيْئًا وَقَالَ لِعُمَرَ اخْفِضْ مِنْ صَوْتِكَ شَيْئًا

Bahwasanya suatu malam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah dan mendapati Abu Bakar Radhiyallahu anhu shalat malam dengan merendahkan suaranya. Dan beliau melewati ‘Umar bin al-Khaththab ketika sedang shalat dengan meninggikan suaranya. Ketika keduanya telah berkumpul di dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Wahai Abu Bakar, aku melewatimu ketika engkau sedang shalat dengan merendahkan suaramu”. Abu Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, aku memperdengarkan kepada (Allah) yang aku berbisik kepada-Nya”. Beliau juga bersabda kepada ‘Umar: “Aku melewatimu ketika engkau sedang shalat dengan meninggikan suaramu”. ‘Umar berkata: “Wahai Rasulullah, aku membangunkan orang yang mengantuk dan mengusir setan,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu Bakar, tinggikan suaramu sedikit”. Beliau juga bersabda kepada ‘Umar: “Wahai ‘Umar, rendahkan suaramu sedikit”. [HR Abu Dawud, no. 1329, al-Hakim. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni].

Referensi : https://almanhaj.or.id/2544-bacaan-shalat-jahr-dan-adzan-bagi-yang-shalat-sendirian.html

“Boleh minta kesimpulannya ya ustadz, ana kurang memahaminya krn disana ada kata meninggikan dan merendahkan suara. Dan hukumnya untuk keadaan yg ana tanyakan”

Syaikh al-Qu'aimiy menyebutkan di dalam kitabnya ar-Riyadh an-Nadhirot hal 240-241 :

ويخير منفرد ونحوه كاقائم لقضاء ما فاته بين جهر وإخفات وتقدم قريبا، ولا بأس بجهر امرأة إذا لم يسمعها أجنبي، وخنثى مثلها، قاله في الإقناع.

Orang yang shalat sendirian (munfarid) dan yang serupa dengannya, seperti orang yang berdiri untuk menggantikan shalat yang terlewat, diberi pilihan antara membaca dengan suara keras (jahar) atau pelan (ikhfa). Hal ini telah dijelaskan sebelumnya.

Dan tidak masalah bagi seorang wanita untuk mengeraskan bacaannya (jahar), selama suaranya tidak terdengar oleh orang asing (bukan mahram). Hal yang sama juga berlaku untuk seorang khuntsa (orang yang memiliki ciri-ciri kelamin ganda), seperti yang dijelaskan dalam kitab Al-Iqna'.

[4] Syaikh al-Qu'aimiy memberikan catatan kakinya terkait bacaan dalam shalat : Surat-surat panjang : Surat Qof sampai akhir surat al Mursalat. Surat pertengahan : An Naba' - Al lail. Surat pendek : Ad Duha - Surat an nas.