HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar
Kamus Hafalan Durusul Lughah Jilid 2

Pasal : Qosor

 

وَيُسَنُّ قَصْرُ الرُّبَاعِيَّةِ فِي : سَفَرٍ طَوِيلٍ، مُبَاحٍ.

Disunnahkan meringkas (qashar) shalat yang terdiri dari empat raka'at dalam perjalanan jauh, yang diperbolehkan (tidak untuk maksiat)[1].

وَيَقْضِي صَلَاةَ سَفَرٍ فِي حَضَرٍ، وَعَكْسُهُ : تَامَّةً .

Jika seseorang mengqadha salat perjalanan di tempat tinggal atau sebaliknya, maka ia mengerjakannya secara sempurna (tidak diqashar)[2].

وَمَنْ نَوَى إِقَامَةً مُطْلَقَةً بِمَوْضِعٍ، أَوْ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ، أَوِ ائْتَمَّ بِمُقِيمٍ، أَتَمَّ.

Barang siapa berniat untuk tinggal menetap secara mutlak di suatu tempat, atau tinggal lebih dari empat hari, atau menjadi makmum kepada seorang mukim, maka ia wajib menyempurnakan (salatnya).

وَإِنْ حُبِسَ ظُلْمًا، أَوْ لَمْ يَنْوِ إِقَامَةً : قَصَرَ أَبَدًا.

Jika ia ditahan secara zalim atau tidak berniat untuk menetap, maka ia boleh terus mengqashar selamanya.

وَيُبَاحُ لَهُ الجَمْعُ بَيْنَ الظُّهْرَيْنِ والعِشَاءَيْنِ بِوَقْتِ إِحْدَاهُمَا، وَلِمَرِيضٍ وَنَحْوِهِ يَلْحَقُهُ بِتَرْكِهِ مَشَقَّةٌ.

Diperbolehkan baginya untuk menjamak antara dua salat Zuhur dan Asar serta dua salat Magrib dan Isya dalam waktu salah satu dari keduanya. Hal ini juga diperbolehkan bagi orang sakit atau yang sejenis dengannya yang jika meninggalkan jamak akan mendatangkan kesulitan.

وَبَيْنَ العِشَاءَيْنِ فَقَطْ لِمَطَرٍ وَنَحْوِهِ : يَبُلُّ الثَّوْبَ، وَتُوجَدُ مَعَهُ مَشَقَّةٌ، وَلِوَحَلٍ، وَرِيحٍ شَدِيدَةٍ، بَارِدَةٍ، لَا بَارِدَةٍ فَقَطْ ، إِلَّا بِلَيْلَةٍ مُظْلِمَةٍ.

Adapun menjamak antara dua salat Magrib dan Isya saja, hal ini diperbolehkan karena hujan atau yang sejenis dengannya yang dapat membasahi pakaian, serta diiringi adanya kesulitan, seperti tanah berlumpur, angin kencang yang dingin, namun tidak hanya karena dingin saja kecuali disertai dengan malam yang gelap gulita.

وَالْأَفْضَلُ فِعْلُ الْأَرْفَقِ مِنْ تَقْدِيمٍ أَوْ تَأْخِيرٍ.

Yang lebih utama adalah memilih yang lebih mudah di antara mendahulukan (jama' taqdim) atau mengakhirkan (jama' takhir).

وَكُرِهَ فِعْلُهُ فِي بَيْتِهِ وَنَحْوِهِ.

Makruh melakukan jamak di rumah atau tempat semacamnya.

وَيَبْطُلُ جَمْعُ تَقْدِيمٍ : بِرَاتِبَةٍ بَيْنَهُمَا، وَتَفْرِيقٍ بِأَكْثَرَ مِنْ وُضُوءٍ خَفِيفٍ وَإِقَامَةٍ.

Jamak taqdim menjadi batal apabila dilakukan dengan menyisipkan salat sunnah rawatib di antara keduanya atau dengan memisahkan waktu keduanya lebih dari sekadar wudhu ringan dan iqamah.

وَتَجُوزُ صَلَاةُ الخَوْفِ بِأَيِّ صِفَةٍ صَحَّتْ عَنِ النَّبِيِّ، وَصَحَّتْ مِنْ سِتَّةِ أَوْجُهٍ، وَسُنَّ فِيهَا حَمْلُ سِلَاحٍ غَيْرِ مُثْقِلٍ.

Salat khauf (salat dalam keadaan perang atau bahaya) boleh dilakukan dengan bentuk apa pun yang telah diriwayatkan dari Nabi . Salat ini memiliki enam cara yang shahih, dan disunnahkan membawa senjata yang tidak memberatkan.



[1] Syaikh asy-Syuwa’ir memberikan syarah panjang terkait ini di hal 225 – 227 :

بدأ يتكلم المصنف رحمه الله عن السنن أو الرخص في الصلاة للمسافر ولتعلم أن المسافر له رخص كثيرة قد وضع الله عزوجل عنه الحرج فيها منها قصر الصلاة، ومنها جمع الصلاة، ومنها ما سبق من مسح الخف، ومنها جواز ترك السنة الراتبة، ومنها التنقل على الراحلة، ومنها الفطر في نهار رمضان وغير ذلك.

Penulis, semoga Allah merahmatinya, mulai berbicara tentang sunnah atau keringanan (rukhshah) dalam salat bagi musafir. Ketahuilah bahwa musafir memiliki banyak keringanan yang telah Allah berikan untuk menghilangkan kesulitan darinya. Di antaranya adalah: qashar (meringkas) salat, menjamak salat, seperti yang disebutkan sebelumnya, boleh mengusap khuf, diperbolehkan meninggalkan salat sunnah rawatib, diperbolehkan melaksanakan salat sunnah di atas kendaraan, diperbolehkan berbuka puasa di siang hari bulan Ramadan, dan lain-lain.

هذه الرخص بعضها الأولى فعله، وبعضها الأولى تركه، وبعضها يستوي فيه الأمران.

Beberapa dari keringanan ini lebih utama untuk dilakukan, sebagian lainnya lebih utama untuk ditinggalkan, dan sebagian lainnya setara antara melakukannya atau meninggalkannya.

بدأ يتكلم المصنف عن أول هذه الرخص: وهي قصر الصلاة، فقال يسن قصر الصلاة الرباعية، إذن قصر الصلاة في السفر دائما مسنون؛ لأن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ما سافر قط إلا قصر الصلاة، لم يُعرف أن النبي صلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أنه أتم الصلاة قط، ولكن لما جاء الناس بعد النبي صلى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فظنوا أن القصر واجب جاء بعض الصحابة فأصبحوا يتمون الصلاة لتعليم الناس أن القصر إنما هو سنة، فعله عثمان وعائشة .

Penulis mulai membahas keringanan yang pertama, yaitu qashar salat, dengan berkata, "Disunnahkan untuk meringkas salat yang terdiri dari empat rakaat." Jadi, qashar salat dalam perjalanan selalu disunnahkan. Nabi Muhammad tidak pernah bepergian kecuali beliau melakukan qashar salat. Tidak diketahui bahwa Nabi pernah menyempurnakan salat saat bepergian. Namun, setelah wafatnya Nabi , ada sebagian sahabat yang menyempurnakan salat saat bepergian untuk mengajarkan kepada masyarakat bahwa qashar itu hanyalah sunnah, bukan kewajiban. Di antara mereka adalah Utsman dan Aisyah, radhiyallahu ‘anhuma.

إذن نريد أن نعلم أن القصر سنة دائما هذا هو الأفضل والأتم، قبل أن نبدأ بهذا الباب عندنا مسائل لا بد أن نعرفها.

Oleh karena itu, kita ingin mengetahui bahwa qashar salat selalu merupakan sunnah. Ini adalah yang paling utama dan paling sempurna. Sebelum kita memulai pembahasan bab ini, ada beberapa masalah yang harus kita pahami terlebih dahulu.

المسألة الأولى: وهو ما يتعلق في قول المصنف في سفر طويل مباح.

Masalah pertama: Mengenai ucapan penulis "dalam perjalanan jauh yang diperbolehkan".

ما هو السفر الذي يقصر له؟ ومتى يبدأ المرء بالترخص فيه ؟

Apa yang dimaksud dengan perjalanan yang diperbolehkan untuk qashar? Dan kapan seseorang mulai diperbolehkan mengambil keringanan ini?

 قبل أن نتكلم عن هذا السفر عندنا قاعدة لا بد أن تعرفوها مهمة جدا، الدور وهذا حكي الإجماع على هذا التقسيم أن الدور ثلاثة، الشخص باعتبار السفر والإقامة، له دور ثلاثة:

Sebelum kita membahas tentang perjalanan (safar) ini, ada satu kaidah yang sangat penting untuk diketahui: kedudukan seseorang berdasarkan safar dan tempat tinggalnya terbagi menjadi tiga kategori. Kaidah ini disebutkan sebagai ijmak dalam pembagian umum ini, meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa rincian.

إما أن يكون مستوطنا أو مقيما أو مسافرا، ثلاثة دور في الجملة حكي الإجماع عليها في الجملة أما تفصيلها ففيه خلاف في بعض جزئياتها.

Kategori tersebut adalah: orang yang berstatus sebagai mukim tetap (mustawtin), orang yang bermukim sementara (muqim), atau orang yang sedang bepergian (musafir). Secara umum, tiga kategori ini telah disepakati.  Ketiga kedudukan ini secara umum telah disepakati ijmaknya. Namun, dalam rincian dan perinciannya, terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa bagian tertentu.

المستوطن هو من ؟ هو الذي يكون مستوطنا في بلده التي فيها أهله وولده، كما قال الله : (ذلك لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمسجد الحرام ﴾ [البقرة: ١٩٦].

Adapun definisi mustawtin, yaitu seseorang yang berstatus sebagai mukim tetap di negeri tempat tinggalnya, yang merupakan tempat keluarganya dan anak-anaknya berada. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: "Itu bagi orang yang keluarganya tidak berada di sekitar Masjidil Haram." (QS. Al-Baqarah: 196).

قال أحمد: فجعل العبرة بالأهل والولد، فحيث كان المرء يوجد أهله وإقامته دائمة فإنه يكون مستوطنا هذا يسمى استيطان، هذا لا يترخص بأي من رخص السفر مطلقا.

Ahmad berkata: "Kriteria yang dijadikan patokan adalah keberadaan keluarga dan anak-anak. Di mana pun seseorang tinggal bersama keluarganya dan menetap secara permanen, maka dia dianggap sebagai seorang yang mukim (tidak dalam perjalanan). Orang seperti ini tidak boleh mengambil keringanan (rukhshah) apapun yang diberikan kepada musafir."

ثانيا: المسافر : قالوا والمسافر ثلاثة أشخاص - مهم جدا أن تعرف من هم المسافر - ثلاثة أشخاص.

Kedua: Musafir. Dikatakan bahwa musafir terbagi menjadi tiga jenis - sangat penting untuk mengetahui siapa saja yang termasuk musafir - ada tiga kategori.

الأول: من اشتد به السافر وهو المنتقل بين المحلين فيسمى مسافرا، ولو طال السفر كان الناس قديما ينتقلون إلى الحج بشهرين وثلاثة في الطريق، فالشهران هذه كلها تسمى سفر.

Pertama: Seseorang yang sedang bepergian dalam perjalanan jauh yang cukup lama, seperti orang yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, yang disebut musafir. Walaupun perjalanan itu memakan waktu lama, seperti zaman dahulu orang bepergian untuk berhaji yang bisa memakan waktu dua hingga tiga bulan, maka perjalanan selama dua bulan itu tetap dianggap sebagai perjalanan.

 الحالة الثانية: من كان داخل بلد ولم يجمع الإقامة فيها، دخل بلد ولم يجمع الإقامة كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم في تبوك، قيل إن تبوك في ذلك المحل كانت بلدا، قيل إنها ليست بلد وإنما منطقة؛ ولذلك لا إقامة فيها، وكما فعل ابن عمر الله حينما أتى أزربيجان فجلس فيها ثلاث أشهر يجمع ويقصر؛ لأنه لما دخلها أراد الخروج فإذا بها ثلج فإذا بالثلج قد زاد تلك السنة فجلس ينتظر ذوبان الثلج حتى يخرج، فدل على المكث في بلدا من غير إجماع الإقامة لا يدرك كم سيمكث فإنه يعتبر مسافرا.

Kedua: Seseorang yang berada di dalam sebuah kota tetapi tidak menetap di sana secara permanen, seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad di Tabuk. Ada yang berpendapat bahwa Tabuk pada waktu itu adalah sebuah kota, ada juga yang berpendapat bahwa itu bukan kota melainkan sebuah kawasan, sehingga tidak dianggap sebagai tempat tinggal permanen. Begitu juga yang dilakukan oleh Ibnu Umar ketika datang ke Azerbaijan, di mana ia tinggal selama tiga bulan, ia menjamak dan mengqashar shalat, karena ketika ia masuk ke sana, ia berencana untuk segera keluar, tetapi terhalang oleh salju tebal yang menumpuk pada tahun tersebut, sehingga ia menunggu hingga salju mencair sebelum melanjutkan perjalanan. Ini menunjukkan bahwa seseorang yang tinggal di suatu tempat tanpa niat untuk menetap secara permanen, ia dianggap sebagai musafir, meskipun tinggal dalam waktu yang lama.

 النوع الثالث من أصناف المسافر: هو الذي دخل بلدا مجمعا الإقامة فيها لكن كان لمدة أقل من حد الإقامة قد نقول مجمعا المكث فيها أقل من حد الإقامة.

Ketiga: Orang yang masuk ke suatu tempat yang biasanya merupakan tempat tinggal, namun dia tinggal kurang dari batas minimal waktu tinggal di tempat tersebut, sehingga ia masih dianggap sebagai musafir.

 حد الإقامة هذه هي التي فيها كلام بين أهل العلم والمعتمد عند فقهاءنا والجمهور أن حد الإقامة هي أكثر من أربعة أيام أي واحدا وعشرين صلاة فأكثر، فمن مكث في بلد مجمعا الإقامة عشرين صلاة فأقل فإنه يسمى مسافرا، وضحت ؟ ما الدليل نقول تستدل بدليل يسميه الفقهاء الاستدلال بأكثر ما ورد وهو من الأدلة الاستئناسية نظرنا في سيرة النبي صلى الله عليه وسلم فلم تر أنه مكث في بلد مجمعا الإقامة فيها غير عازم الخروج منها يجمع ويقصر إلا حينما دخل مكة في حجة الوداع، فقد دخلها في اليوم الرابع وخرج منها في اليوم الثامن إلى منى، حسبنا الصلوات فإذا هي عشرون صلاة، فحينئذ تقول فإنه من مكث عشرين صلاة فأقل فإنه يجمع ويقصر ويكون حكمة حكم المسافر ولو أجمع الإقامة هذا الدار الثاني.

Batas minimal waktu tinggal ini merupakan hal yang diperselisihkan di kalangan para ulama. Pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama, termasuk para fukaha kami, adalah bahwa batas waktu tinggal di suatu tempat agar tidak dianggap musafir adalah lebih dari empat hari atau lebih dari 21 waktu shalat. Jika seseorang tinggal di suatu tempat selama 20 waktu shalat atau kurang, maka dia tetap dianggap sebagai musafir, walaupun tempat tersebut adalah tempat tinggal yang umumnya digunakan untuk menetap.

Bukti: Ini bisa dilihat dalam perjalanan Nabi Muhammad. Tidak ada yang menyebutkan bahwa beliau pernah tinggal di suatu tempat untuk waktu yang lama dengan niat menetap, kecuali saat beliau memasuki Mekkah pada Haji Wada'. Beliau masuk pada hari keempat dan keluar pada hari kedelapan menuju Mina, yang berarti beliau tinggal di sana selama kurang dari 21 waktu shalat. Maka berdasarkan hal ini, seseorang yang tinggal selama kurang dari 21 waktu shalat di suatu tempat, tetap dapat dianggap sebagai musafir, meskipun di tempat tersebut pada umumnya orang menetap.

 الدار الثالث يسمى المقيم: إذن انتهينا من المستوطن والمسافر بدأنا في المقيم. المقيم هو من؟ من دخل بلدة غير بلدته مجمعا الإقامة فيها أكثر من حد الإقامة، حد الإقامة فأكثر، وحد الإقامة كم؟ واحدا وعشرين صلاة على ما ذكر فقهاؤنا، والمسألة فيها خلاف كما مر، الخلاف إنما هو في حد الإقامة ما عدا ذلك ففي الجملة يعني قول عامة أهل العلم عليه، وضحت المسألة وعرفنا دليل حد الإقامة، وعرفنا الدليل على كل واحدة من الثلاث.

Kategori ketiga adalah mukim. Jadi, kita sudah membahas tentang mustawtin (penduduk tetap) dan musafir (orang yang sedang bepergian), kini kita akan membahas mukim. Siapa itu mukim? Mukim adalah orang yang telah masuk ke suatu daerah atau kota yang bukan kota asalnya dan telah menetap di sana lebih dari batas waktu tinggal yang telah ditentukan. Apa itu batas waktu tinggal? Batas waktu tinggal adalah 21 kali shalat, sebagaimana yang disebutkan oleh para fuqaha (ulama fiqih), dan ada perbedaan pendapat terkait batas waktu tinggal ini, seperti yang telah dibahas sebelumnya. Perbedaan pendapat ini hanya terletak pada batas waktu tinggal, namun secara umum pendapat mayoritas ulama mengatakan bahwa batas waktu tinggal adalah lebih dari 21 kali shalat. Dengan demikian, kita sudah mengetahui batas waktu tinggal (21 shalat), dan kita juga telah memahami dalil yang mendasari setiap kategori status keberadaan ini (mustawtin, musafir, dan mukim).

ما الفرق بين المقيم والمستوطن؟

Lalu, apa perbedaan antara mukim dan mustawtin?

 نقول أن المستوطن لا يترخص بأي رخصة من رخص السفر، والمقيم مثله إلا في مسألة واحد وهي مسألة الجمعة، فإن المقيم لا تجب عليه صلاة الجمعة، لكنه يجب أن يصوم ويجب أن يتم ، ولا يجمع بين الصلاتين.

Kami katakan bahwa mustawtin (orang yang menetap) tidak boleh mengambil rukhshah (keringanan) dalam hal apapun terkait perjalanan, sedangkan mukim seperti halnya mustawtin, kecuali dalam satu masalah, yaitu masalah shalat Jumat. Orang yang mukim tidak wajib melaksanakan shalat Jumat, namun dia wajib berpuasa, menyelesaikan shalat dengan sempurna (tidak mengqashar), dan tidak boleh menggabungkan dua shalat.

 يقول الشيخ وين قصر الرباعية دون الثنائية والثلاثية، في سفر طويل لماذا قال في سفرا طويل؟ لأن السفر نوعان إما أن يكون طويلا أو قصيرا، فالسفر الطويل هو الذي تقصر له الصلاة ومسافته ما هي؟ بحثنا فوجدنا أصح ما في الباب ما ثبت عن ابن عمر وابن عباس أنهما قالا : إذا ذهبت إلى عسفان فاقصر، و ابن عباس فقيه مكة، وابن عمر فقيه المدينة، وهم من فقهاء الصحابة رضوان الله عليهم، فإجماع الصحابيين أو اتفاق هذين الصحابيين على هذا الحد يدل على أن له أصلا عند الصحابة في الجملة.

Kemudian, syaikh (penulis) mengatakan, "Cukup dengan mengqashar shalat yang terdiri dari empat rakaat, bukan yang dua rakaat atau tiga rakaat, dalam perjalanan panjang." Mengapa dikatakan dalam perjalanan panjang? Karena perjalanan terbagi menjadi dua jenis: panjang dan pendek. Perjalanan panjang adalah perjalanan yang dapat diperbolehkan untuk mengqashar shalat, dan apa jarak yang dimaksud? Kami melakukan pencarian dan menemukan bahwa pendapat yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Keduanya mengatakan, "Jika kamu menuju 'Asfan, maka lakukan qashar." Ibnu Abbas adalah seorang faqih dari Mekkah, dan Ibnu Umar adalah seorang faqih dari Madinah, keduanya termasuk di antara para faqih dari kalangan sahabat. Kesepakatan antara kedua sahabat ini menunjukkan bahwa hal ini sudah menjadi kebiasaan yang diakui di kalangan sahabat.

 نظرنا ما المسافة بين عسفان ومكة ؟

Lalu, berapa jarak antara 'Afwan dan Mekkah?

 فإذا المسافة بين عصفان ومكة مسافة أربعة برد، وكل بريد أربعة فراسخ، وكل فرسخ ثلاثة أميال هاشمية، وليست أميالا التي نتعامل بها الآن وتسمى بالأميال الأوروبية، أو البريطانية، الأميال الهاشمية فإن الميل الهاشمي أطول من الميل الذي تتعامل به الآن.

Jarak antara 'Asfan dan Mekkah adalah empat burd, dan setiap burd memiliki jarak empat farsakh, di mana setiap farsakh setara dengan tiga mil Hasymiyah (mil yang digunakan di wilayah tersebut). Perbedaan mil Hasymiyah dengan mil yang kita gunakan saat ini (mil Eropa atau Inggris) adalah bahwa mil Hasymiyah lebih panjang.

 إذن مسافة القصر كم أربعة برد، لم يقل النبي صلى الله عليه وسلم ذلك، وإنما قضى به الصحابة رضوان الله عليهم، ودائما نحرص دائما على أن قضية المقدرات نبحث عن دليل لضبط الناس فيه، مر معنا القاعدة التي ذكرتها لكم أن في المقدرات ترجع أولا للنص، فإن لم يوجد ففي اللغة، فإن لم يوجد فننتقل للعرف، وجدنا في الشرع اجتهادات من الصحابة فلا شك أن اجتهادهم مقدم على عرفنا وضبطه.

Dengan demikian, jarak untuk qashar shalat adalah empat burd, meskipun Nabi Muhammad tidak menentukan hal ini secara langsung, namun keputusan ini diambil oleh para sahabat. Kami selalu berusaha untuk mencari bukti yang jelas dalam hal-hal yang berkaitan dengan ukuran dan jarak untuk menjaga keseragaman. Kami mengikuti kaidah yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam hal-hal yang terkait dengan ukuran dan takaran, kita pertama-tama merujuk pada teks atau nash, jika tidak ditemukan maka kita beralih ke bahasa, dan jika itu pun tidak ditemukan, kita beralih ke kebiasaan atau adat yang berlaku. Jika ada ijma' (kesepakatan) dari para sahabat, maka tentu saja ijma' mereka lebih diutamakan daripada kebiasaan kita.

 طبعا يقابل السفر الطويل، السفر القصير، والسفر القصير هذا يقول لا تقصر فيه الصلاة لكن تسقط فيه الجمعة لمن كان بعيداً عنها ويجوز التنقل على الراحلة.

Tentu, yang berlawanan dengan perjalanan panjang adalah perjalanan pendek, dan dalam perjalanan pendek ini, shalat tidak boleh diqashar, meskipun untuk orang yang jauh dari tempat shalat Jumat, boleh tidak melaksanakan shalat Jumat, dan perjalanan di atas kendaraan (unta atau kendaraan lainnya) diperbolehkan.

PENTING : Fauzan al Atsary, yang termasuk admin grup WA Belajar Akhsor Mukhtasorot menambahkan 2 pendapat yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh ‘Utsaimin rahimahumullah :

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberikan nasehat yang penting tentang pembahasan jarak qosor sholat, di kitab Majmu' al-Fatawa. Beliau memberu penekanan penting untuk memahami syariat ini secara fleksibel, terutama pada masalah yang tidak memiliki batasan eksplisit (gamblang) dalam nash. Nasehat beliau:

1.        Tidak membatasi dengan jarak tertentu: Beliau menasehatkan untuk tidak begitu kaku dalam menentukan jarak qosor sholat, karena syariat tdaik memberikan batasan yang pasti. Dalam Majmu' al-Fatawa, beliau menyatakan: "tidak ada dalam quran atau sunnah dalil yang menentukan jarak tertentu untuk safar. Semua yang dianggap safar menurut 'urf (kebiasaan masyarakat) maka itu adalah safar, meskipun jaraknya pendek." (Majmu' al-Fatawa, 24/106)

2.        Menghindari beban yang tidak ada dalam syariat: "Syariat Islam diturunkan untuk memudahkan umat, bukan untuk membebani mereka dengan ketentuan yang tidak ada dalilnya." (Majmu' al-Fatawa, 24/107)

3.        Beliau menekankan bahwa ‘urf (kebiasaan umum masyarakat) adalah pedoman utama dalam menentukan ini. Apa yang dianggap sebagai perjalanan (safar) oleh masyarakat setempat, maka itu adalah safar menurut syariat, sehingga hukum qosor berlaku. Pendekatan praktis Nabi (ص): Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa Nabi dan para sahabat tidak pernah menentukan jarak minimal untuk qosor sholat. Beliau memberu contoh: bahwa Nabi pernah mengqosor sholat dalam perjalanan pendek, seperti ke Dzul-Hulaifah, sekitar 11-12 km dari Madinah. Aafar yang dilakukan Nabi adalah berdasarkan kebutuhan, tanpa membatasi jarak tertentu.

4.        Beliau menasehatkan bahwa syariat memberikan kefleksibilitas-an untuk para musafir dalam hal qosor sholat. Ini selaras dengan firman Allah dalam surat an Nisa ayat 101.

Allahu a'lam. Begitu juga Syaikh Ibnu Utsaimin memberikan beberapa nasehat penting tentang jarak qosor sholat dalam karyanya; Syarhul Mumti'. Syaikh Ibnu Utsaimin memberikan pandangan yang mencampurkan antara teks-teks syar'i dan pendekatan ‘urf, harapannya untuk menghasilkan pemahaman yang lebih luwes dan mudah. Nasehat beliau:

1.        Beliau menekankan bahwa tidak ada dalil secara tegas menetapkan jarak minimal tertentu untuk safar yang membolehkan qosor sholat. "Tidak ada dalam syariat Islam dalil yang jelas menetapkan jarak tertentu untuk safar yang membolehkan qosor. Apa yang dianggap sebagai safar oleh masyarakat, maka itu adalah safar." (Syarhul Mumti', Jilid 4, Halaman 513)

2.        Beliau menjelaskan: "Kalo masyarakat menganggap suatu perjalanan sebagai safar, maka seseorang boleh mengqoshar sholat meskipun jaraknya lebih pendek dari 80 km."

3.        Beliau menekankan bahwa tujuan utama syariat adalah memberikan kemudahan bagi umat Islam, terutama dalam perjalanan. Oleh karena itu, menetapkan jarak minimal tertentu tanpa dalil yang jelas bisa-bisa menjadi beban yang tidak diperlukan. Contoh praktisnya di dalam pembahasan safar, beliau memberi contoh perjalanan yang dianggap pendek tapi sudah masuk kategori safar menurut kebiasaan, seperti bepergian antar desa atau kota kecil yang berjarak kurang dari 80 km

4.        Beliau juga mengatakan bahwa: "Syariat tidak dibangun atas dasar angka yang kaku , tapi berdasarkan kemaslahatan dan tujuan yang membawa manfaat juga (tentunya) memudahkan untuk umat." Allahu a'lam.

[2] Sedikit penjelasan :

·         Bila tertinggal shalat saat safar dan keburu sudah sampai rumah.

·         Atau belum shalat sebelum safar, kemudian ia safar ;

Maka ia harus melaksanakan shalat secara sempurna (tidak di qosor). Allahu a'lam