Pasal : Pembatal wudhu
نَوَاقِضُ الوُضُوءِ ثَمَانِيَةٌ :
Hal-hal yang
membatalkan wudhu ada delapan:
خَارِجُ مِنْ سَبِيلِ مُطْلَقًا، وَخَارِجُ مِنْ بَقِيَّةِ
البَدَنِ مِنْ بَوْلٍ، وَغَائِطِ، وَكَثِيرٍ نَجِسِ غَيْرِهِمَا،
Segala sesuatu yang
keluar dari dua jalan (qubul dan dubur), dalam bentuk apapun, serta keluarnya
sesuatu dari bagian tubuh lainnya berupa air seni, kotoran, atau najis lainnya
dalam jumlah banyak.
وَزَوَالُ عَقْلٍ إِلَّا يَسِيرَ نَوْمٍ مِنْ قَائِمٍ أَوْ
قَاعِدٍ، وَغُسْلُ مَيِّتٍ، وَأَكْلُ لَحْمِ إِبِلٍ، وَالرِّدَّةُ،
Dan hilangnya akal,
kecuali karena tidur ringan dalam posisi berdiri atau duduk, memandikan
jenazah, makan daging unta, dan murtad (keluar dari Islam).
وَكُلُّ مَا أَوْجَبَ غُسْلًا غَيْرَ مَوْتٍ، وَمَسُّ فَرْجِ
آدَمِيٍّ مُتَّصِلٍ،
Segala sesuatu yang
mewajibkan mandi selain kematian, dan menyentuh kemaluan manusia yang masih
menyatu dengan tubuhnya[1].
أَوْ حَلْقَةِ دُبُرِهِ بِيَدٍ، وَلَمْسُ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى
: الآخَرَ لِشَهْوَةٍ، بلا حَائِلٍ فِيهِمَا.
Atau menyentuh bagian
belakang tubuh (dubur) dengan tangan, serta menyentuh lawan jenis karena
syahwat, tanpa ada penghalang pada keduanya.
لَا : لِشَعْرٍ، وَسِنٍّ، وَطُفْرٍ، وَلَا بِهَا، وَلَا مَنْ
دُونَ سَبْعٍ. وَلَا يَنْتَقِضُ وُضُوْء ُ مَلْمُوسٍ مُطْلَقًا.
Tidak (membatalkan wudhu)
karena menyentuh rambut, gigi, atau kuku, dan tidak juga dengan benda-benda
tersebut. Tidak pula batal wudhu jika menyentuh anak yang belum mencapai usia
tujuh tahun. Dan wudhu orang yang disentuh tidak batal secara mutlak[2].
وَمَنْ شَكَّ فِي : طَهَارَةٍ أَوْ حَدَثٍ : يَنَى عَلَى
يَقِينِهِ.
Barang siapa yang ragu tentang keadaan suci
atau hadatsnya, maka ia kembali pada keyakinannya[3].
وَحَرُمَ عَلَى مُحْدِثٍ : مَسُّ مُصْحَفٍ، وَصَلَاةٌ، وَطَوَافٌ.
Dan diharamkan bagi
orang yang berhadats untuk menyentuh mushaf, melaksanakan shalat, dan tawaf.
وَعَلَى جُنُبٍ وَنَحْوِهِ. ذَلِكَ، وَقِرَاءَةُ آيَةِ قُرْآنٍ،
وَلُبْثٌ فِي مَسْجِدٍ بِغَيْرِ وُضُوْءٍ.
Dan haram bagi orang
yang junub dan sejenisnya untuk membaca ayat-ayat Al-Qur'an, serta berada di
masjid tanpa berwudhu[4].
[1] Disebutkan
oleh Muhammad bin Nashir al-Ajmi ketika mengomentari ini di dalam syarahnya di
hal 90 :
خرج المنفصل، وهو المقطوع، ويقال له : الفرج البائن، أي
: المقطوع
"Yang
terpisah dikecualikan, yaitu yang telah terpotong. Ini disebut al-farj
al-bā'in, yang berarti kemaluan yang telah terpotong."
[2] Maksudnya bahwa jika
seseorang disentuh oleh orang lain, maka wudhu orang yang disentuh tersebut
tidak menjadi batal, baik sentuhan itu dilakukan dengan syahwat maupun tanpa
syahwat, dan dalam keadaan apa pun. Dengan kata lain, hukum batal wudhu dalam
konteks ini hanya berlaku pada orang yang menyentuh, bukan pada orang yang
disentuh. Misalnya, jika seseorang menyentuh tangan orang lain dengan syahwat,
maka yang batal wudhunya adalah si penyentuh, sementara orang yang disentuh
tetap sah wudhunya.
[3] Jika seseorang ragu
apakah ia masih dalam keadaan suci (berwudhu) atau telah batal wudhunya, maka
ia harus berpegang pada apa yang diyakini sebelumnya.
[4] Syaikh Al - Qu'aimiy
memberikan catatan kaki di kitabnya al-Hawasyiy as-Sabighot hal 39 :
يحرم
لبثه بالمسجد بغير وضوء بحيث يسمى في العرف أنه لابث، وكذا يجوز للحائض والنفساء اللبث
في المسجد بـ ١ - وضوء ، ۲ - وبشرط
انقطاع الدم.
Haram hukumnya
bagi seseorang untuk berdiam di masjid tanpa wudhu, selama secara adat disebut
sebagai "berdiam". Begitu pula, bagi wanita haid dan nifas
diperbolehkan berdiam di masjid dengan dua syarat: (1). Dalam keadaan berwudhu.
(2). Dengan syarat darahnya telah berhenti.
Pernyataan ini
dikuatkan oleh Syaikh asy-Syuwa’ir di dalam kitab beliau Syarh Akhsor
Mukhtasorot hal 73 :
أما
الحائض فإن فقهاءنا يقولون الحائض لا تمكث في المسجد ، لماذا؟ تعليلهم قديما قالوا
: لأن الحيض بلوث المسجد؛ لأنه مظنة التلويث، هذا هو تعليلهم، وإلا فإن الفقهاء يقولون
الحدث من الجنابة أشد من الحيض، هذه قاعدة الفقهاء، يقولون الحدث من الجنابة أشد من
الحيض الحيض أخف، وبناء على ذلك فإننا نقول يتغير الحكم بتغير الحال، أما وقد وجد من
الأسباب التي تمنع وتأمن وصول دم الحيض إلى المسجد وتلويثه فإنه يجوز على قول فقهاءنا
أن تمكث الحائض في المسجد إذا توضأت، كذا قاله بعض مشايخنا، تخريجا على القاعدة التي
ذكروها، بناء على القاعدة التي ذكروها، ما دام القاعدة كذلك وقد اختلف الحال باختلاف
الأمن ونحن قلنا المظنة قبل قليل إذا كانت من جهة الشارع، وأما من المظنة إذا كانت
من جهة الفقهاء واجتهادهم فإنه إذا أمنت هذه المظنة فيجب أن نرجع للأصل
"Adapun
wanita yang sedang haid, para fuqaha kami mengatakan bahwa wanita haid tidak
boleh berdiam di masjid. Mengapa demikian? Mereka menjelaskan bahwa di masa
lampau alasannya adalah karena haid dianggap dapat mencemari masjid, sebab haid
dianggap memiliki potensi untuk menimbulkan najis. Itulah alasan mereka. Namun,
para fuqaha juga menyatakan bahwa hadats akibat junub lebih berat daripada
haid. Ini adalah kaidah para fuqaha: hadats akibat junub lebih berat
dibandingkan haid, sedangkan haid lebih ringan.
Berdasarkan hal
ini, kami mengatakan bahwa hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan kondisi.
Jika saat ini ada cara yang dapat mencegah dan memastikan darah haid tidak
sampai ke masjid atau mencemarinya, maka diperbolehkan—menurut sebagian
fuqaha kami—bagi wanita haid untuk berdiam di masjid jika dia
berwudhu. Hal ini disebutkan oleh sebagian guru kami sebagai pengembangan
dari kaidah yang telah mereka tetapkan. Selama kaidahnya seperti itu dan
kondisi telah berubah berdasarkan keamanan, maka kita harus kembali kepada
hukum asal.
Kami juga
menyebutkan sebelumnya bahwa potensi bahaya (madhinnah) yang berasal dari
syariat harus dipertimbangkan. Namun, jika potensi bahaya tersebut berdasarkan
ijtihad para fuqaha dan potensi ini telah hilang, maka kita harus kembali
kepada hukum asal."