HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar
Kamus Hafalan Durusul Lughah Jilid 2

Pasal : Pembatal wudhu

 

نَوَاقِضُ الوُضُوءِ ثَمَانِيَةٌ :

Hal-hal yang membatalkan wudhu ada delapan:

خَارِجُ مِنْ سَبِيلِ مُطْلَقًا، وَخَارِجُ مِنْ بَقِيَّةِ البَدَنِ مِنْ بَوْلٍ، وَغَائِطِ، وَكَثِيرٍ نَجِسِ غَيْرِهِمَا،

Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur), dalam bentuk apapun, serta keluarnya sesuatu dari bagian tubuh lainnya berupa air seni, kotoran, atau najis lainnya dalam jumlah banyak.

وَزَوَالُ عَقْلٍ إِلَّا يَسِيرَ نَوْمٍ مِنْ قَائِمٍ أَوْ قَاعِدٍ، وَغُسْلُ مَيِّتٍ، وَأَكْلُ لَحْمِ إِبِلٍ، وَالرِّدَّةُ،

Dan hilangnya akal, kecuali karena tidur ringan dalam posisi berdiri atau duduk, memandikan jenazah, makan daging unta, dan murtad (keluar dari Islam).

وَكُلُّ مَا أَوْجَبَ غُسْلًا غَيْرَ مَوْتٍ، وَمَسُّ فَرْجِ آدَمِيٍّ مُتَّصِلٍ،

Segala sesuatu yang mewajibkan mandi selain kematian, dan menyentuh kemaluan manusia yang masih menyatu dengan tubuhnya[1].

أَوْ حَلْقَةِ دُبُرِهِ بِيَدٍ، وَلَمْسُ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى : الآخَرَ لِشَهْوَةٍ، بلا حَائِلٍ فِيهِمَا.

Atau menyentuh bagian belakang tubuh (dubur) dengan tangan, serta menyentuh lawan jenis karena syahwat, tanpa ada penghalang pada keduanya.

لَا : لِشَعْرٍ، وَسِنٍّ، وَطُفْرٍ، وَلَا بِهَا، وَلَا مَنْ دُونَ سَبْعٍ. وَلَا يَنْتَقِضُ وُضُوْء ُ مَلْمُوسٍ مُطْلَقًا.

Tidak (membatalkan wudhu) karena menyentuh rambut, gigi, atau kuku, dan tidak juga dengan benda-benda tersebut. Tidak pula batal wudhu jika menyentuh anak yang belum mencapai usia tujuh tahun. Dan wudhu orang yang disentuh tidak batal secara mutlak[2].

وَمَنْ شَكَّ فِي : طَهَارَةٍ أَوْ حَدَثٍ : يَنَى عَلَى يَقِينِهِ.

Barang siapa yang ragu tentang keadaan suci atau hadatsnya, maka ia kembali pada keyakinannya[3].

وَحَرُمَ عَلَى مُحْدِثٍ : مَسُّ مُصْحَفٍ، وَصَلَاةٌ، وَطَوَافٌ.

Dan diharamkan bagi orang yang berhadats untuk menyentuh mushaf, melaksanakan shalat, dan tawaf.

وَعَلَى جُنُبٍ وَنَحْوِهِ. ذَلِكَ، وَقِرَاءَةُ آيَةِ قُرْآنٍ، وَلُبْثٌ فِي مَسْجِدٍ بِغَيْرِ وُضُوْءٍ.

Dan haram bagi orang yang junub dan sejenisnya untuk membaca ayat-ayat Al-Qur'an, serta berada di masjid tanpa berwudhu[4].



[1] Disebutkan oleh Muhammad bin Nashir al-Ajmi ketika mengomentari ini di dalam syarahnya di hal 90 :

خرج المنفصل، وهو المقطوع، ويقال له : الفرج البائن، أي : المقطوع

"Yang terpisah dikecualikan, yaitu yang telah terpotong. Ini disebut al-farj al-bā'in, yang berarti kemaluan yang telah terpotong."

[2] Maksudnya bahwa jika seseorang disentuh oleh orang lain, maka wudhu orang yang disentuh tersebut tidak menjadi batal, baik sentuhan itu dilakukan dengan syahwat maupun tanpa syahwat, dan dalam keadaan apa pun. Dengan kata lain, hukum batal wudhu dalam konteks ini hanya berlaku pada orang yang menyentuh, bukan pada orang yang disentuh. Misalnya, jika seseorang menyentuh tangan orang lain dengan syahwat, maka yang batal wudhunya adalah si penyentuh, sementara orang yang disentuh tetap sah wudhunya.

[3] Jika seseorang ragu apakah ia masih dalam keadaan suci (berwudhu) atau telah batal wudhunya, maka ia harus berpegang pada apa yang diyakini sebelumnya.

[4] Syaikh Al - Qu'aimiy memberikan catatan kaki di kitabnya al-Hawasyiy as-Sabighot hal 39 :

يحرم لبثه بالمسجد بغير وضوء بحيث يسمى في العرف أنه لابث، وكذا يجوز للحائض والنفساء اللبث في المسجد بـ ١ - وضوء ، ۲ - وبشرط انقطاع الدم.

Haram hukumnya bagi seseorang untuk berdiam di masjid tanpa wudhu, selama secara adat disebut sebagai "berdiam". Begitu pula, bagi wanita haid dan nifas diperbolehkan berdiam di masjid dengan dua syarat: (1). Dalam keadaan berwudhu. (2). Dengan syarat darahnya telah berhenti.

Pernyataan ini dikuatkan oleh Syaikh asy-Syuwa’ir di dalam kitab beliau Syarh Akhsor Mukhtasorot hal 73 :

أما الحائض فإن فقهاءنا يقولون الحائض لا تمكث في المسجد ، لماذا؟ تعليلهم قديما قالوا : لأن الحيض بلوث المسجد؛ لأنه مظنة التلويث، هذا هو تعليلهم، وإلا فإن الفقهاء يقولون الحدث من الجنابة أشد من الحيض، هذه قاعدة الفقهاء، يقولون الحدث من الجنابة أشد من الحيض الحيض أخف، وبناء على ذلك فإننا نقول يتغير الحكم بتغير الحال، أما وقد وجد من الأسباب التي تمنع وتأمن وصول دم الحيض إلى المسجد وتلويثه فإنه يجوز على قول فقهاءنا أن تمكث الحائض في المسجد إذا توضأت، كذا قاله بعض مشايخنا، تخريجا على القاعدة التي ذكروها، بناء على القاعدة التي ذكروها، ما دام القاعدة كذلك وقد اختلف الحال باختلاف الأمن ونحن قلنا المظنة قبل قليل إذا كانت من جهة الشارع، وأما من المظنة إذا كانت من جهة الفقهاء واجتهادهم فإنه إذا أمنت هذه المظنة فيجب أن نرجع للأصل

"Adapun wanita yang sedang haid, para fuqaha kami mengatakan bahwa wanita haid tidak boleh berdiam di masjid. Mengapa demikian? Mereka menjelaskan bahwa di masa lampau alasannya adalah karena haid dianggap dapat mencemari masjid, sebab haid dianggap memiliki potensi untuk menimbulkan najis. Itulah alasan mereka. Namun, para fuqaha juga menyatakan bahwa hadats akibat junub lebih berat daripada haid. Ini adalah kaidah para fuqaha: hadats akibat junub lebih berat dibandingkan haid, sedangkan haid lebih ringan.

Berdasarkan hal ini, kami mengatakan bahwa hukum dapat berubah sesuai dengan perubahan kondisi. Jika saat ini ada cara yang dapat mencegah dan memastikan darah haid tidak sampai ke masjid atau mencemarinya, maka diperbolehkan—menurut sebagian fuqaha kami—bagi wanita haid untuk berdiam di masjid jika dia berwudhu. Hal ini disebutkan oleh sebagian guru kami sebagai pengembangan dari kaidah yang telah mereka tetapkan. Selama kaidahnya seperti itu dan kondisi telah berubah berdasarkan keamanan, maka kita harus kembali kepada hukum asal.

Kami juga menyebutkan sebelumnya bahwa potensi bahaya (madhinnah) yang berasal dari syariat harus dipertimbangkan. Namun, jika potensi bahaya tersebut berdasarkan ijtihad para fuqaha dan potensi ini telah hilang, maka kita harus kembali kepada hukum asal."