HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar
Kamus Hafalan Durusul Lughah Jilid 2

Pasal : Orang-orang yang memiliki udzur

 

يُصَلِّي المَرِيضُ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ : فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ : فَعَلَى جَنْبٍ، وَالأَيْمَنُ أَفْضَلُ،

Orang yang sakit melaksanakan salat dengan berdiri. Jika tidak mampu[1], maka dengan duduk. Jika tidak mampu juga, maka dengan berbaring di atas sisi tubuhnya, dan sisi kanan lebih utama.

وَكُرِهَ مُسْتَلْقِيًا مَعَ قُدْرَتِهِ عَلَى جَنْبٍ، وَإِلَّا تَعَيَّنَ،

Dimakruhkan salat dengan posisi terlentang jika ia masih mampu berbaring di atas sisi tubuhnya. Namun, jika tidak mampu, maka posisi terlentang menjadi kewajiban[2].

 وَيُومِئُ بِرُكُوعٍ وَسُجُودٍ، وَيَجْعَلُهُ أَخْفَضَ، فَإِنْ عَجَزَ : أَوْمَأَ بِطَرْفِهِ وَنَوَى بِقَلْبِهِ؛ كَأَسِيرٍ خَائِفٍ،

Ia memberi isyarat dengan ruku’ dan sujud, dan menjadikan sujud lebih rendah daripada ruku’. Jika ia tidak mampu melakukan itu, maka ia memberi isyarat dengan matanya dan berniat dengan hatinya, seperti tawanan yang merasa takut.

 فَإِنْ عَجَزَ : فَبِقَلْبِهِ، مُسْتَحْضِرَ القَوْلِ وَالفِعْلِ، وَلَا يَسْقُطُ فِعْلُهَا مَا دَامَ العَقْلُ ثَابِتًا.

Jika ia tidak mampu juga, maka ia melaksanakan salat hanya dengan hatinya, sambil menghadirkan niat untuk ucapan dan perbuatan salat. Salat tidak gugur selama akalnya masih dalam keadaan sadar.

فَإِنْ طَرَأَ عَجْزُ أَوْ قُدْرَةٌ فِي أَثْنَائِهَا : انْتَقَلَ وَبَنَى .

Jika dalam tengah pelaksanaan salat terjadi ketidakmampuan baru atau ia mendapatkan kemampuan yang baru, maka ia berpindah sesuai keadaannya dan melanjutkan salatnya.



[1] Anggota grup WA Belajar Akhsor Mukhtasorot bertanya, “Bagaimana jika seseorang berada pada kondisi sakit yang mana dia tidak mampu berdiri lama, namun jika sudak duduk sebentar maka mampu lagi berdiri (walaupun kondisinya tetap tidak bisa berdiri lama pula)?”

Syaikh asy-Syuwai'ir di dalam kitabnya Syarh Akhsor Mukhtasorot hal 221 :

المرء يجب عليه في صلاته إن يصلي قائما وجوبا وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ ﴾ [البقرة: ۲۳۸]، فإن عجز عن القيام وكيف يكون عاجزا عن القيام؟ بأحد أسباب أربعة:

الأول: إما أن يكون عجزا حقيقيا لا يستطيع القيام.

الأمر الثاني: أن يكون القيام يزيد في مرضه.

الأمر الثالث : أن يكون القيام يؤخر برأه.

الأمر الرابع: أن يكون في القيام مشقة خارجة عن العادة.

هذه أربعة أشياء تستطيع أن تزيد خامسا وهو أن يكون في القيام سبب مرضه بشرط أن يكون متيقنا أو قريب من المتيقن، إذن هذه أسباب العجز عن القيام.

عندنا مسألة ثانية: من كان قادرًا على القيام لكنه معتمدًا، يستطيع القيام لكن معتمد، فهل يجب عليه أن يعتمد على عطا ؟

الفقهاء عندنا يقولون نعم يجب عليه أن يقوم معتمدا على عصا، ولا يجب عليه أن يقوم إن كان لا يستطيع القيام بنفسه إلا بأن يقيمه شخص لا يجب، وأما إن كان يستطيع بنفسه معتمدا على عصا فيجب عليه القيام حينئذ يسقط عنه بالأشياء الخمسة التي ذكرناها قبل قليل.

Seseorang wajib melaksanakan salat dengan berdiri secara wajib, sebagaimana firman Allah: "Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk" (QS. Al-Baqarah: 238).

Namun, jika ia tidak mampu berdiri, bagaimana ia dinyatakan tidak mampu? Hal ini terjadi karena salah satu dari empat sebab berikut:

1.        Ketidakmampuan yang sebenarnya, di mana ia benar-benar tidak bisa berdiri.

2.        Berdiri dapat memperburuk penyakitnya.

3.        Berdiri memperlambat kesembuhannya.

4.        Berdiri menimbulkan kesulitan yang sangat berat di luar kebiasaan.

Ini adalah empat hal yang menyebabkan ketidakmampuan untuk berdiri dalam salat. Anda juga dapat menambahkan sebab kelima, yaitu apabila berdiri menjadi penyebab timbulnya penyakit, dengan syarat adanya keyakinan atau hampir yakin bahwa hal itu akan terjadi. Maka, inilah sebab-sebab ketidakmampuan untuk berdiri.

Selanjutnya, ada persoalan lain: Bagaimana dengan seseorang yang mampu berdiri tetapi harus bersandar, seperti bersandar pada tongkat? Apakah ia tetap wajib berdiri?

Para ulama fikih menyatakan bahwa iya, ia tetap wajib berdiri meskipun harus bersandar pada tongkat. Namun, jika ia hanya mampu berdiri jika ada orang lain yang membantunya untuk berdiri, maka tidak wajib baginya. Adapun jika ia dapat berdiri sendiri dengan bantuan tongkat, maka berdiri tetap diwajibkan baginya, kecuali dalam kondisi-kondisi yang lima yang telah disebutkan sebelumnya.

[2] Ada pertanyaan dari anggota grup WA Belajar Akhsor Mukhtasorot, “Shalat dengan posisi terlentang menghadap kiblatnya bagaimana, Ustad? Juga shalat berbaring di atas sisi tubuhnya.”

Syaikh asy-Syuwai'ir di dalam kitabnya Syarh Akhsor Mukhtasorot hal 222 - 223 :

قال: فإن لم يستطع فعلى جنب، كما في حديث عمران فإن لم تستطع فعلى جنب.

الصلاة على جنب لها ثلاثة . صيغ من حيث الأفضلية أفضلها أن يكون مصليا على شقة الأيمن متجها وجهه إلى القبلة، هكذا يعني أن يكون رأسه من هذه الجهة أي من الجهة الغربية، فيكون رأسه من جهة الغرب، ويكون وجهه جهة الجنوب لأن القبلة الجنوب هذه أفضل الصيع.

ثم يليها أن يكون مضجع على شقة الأيسر ووجهه على القبلة، لماذا قلنا أن هاتين الصورتين هي أفضل؟ لظاهر حديث عمران فعلى جنب فالجنب يشمل الجنب الأيمن والجنب الأيسر، ولكن دائما الأيمن مقدم، كما يفعل في النوم وكما يفعل في الميت عندما يوضع في قبره.

الحالة الثالثة: وهي جائزة لكن الأولى السابقة سيأتي في كلام المصنف أن ينام مستلقيا؛ لكن إذا نام مستلقيا فإنه يجعل قدميه متجهة إلى القبلة، ويرفع رأسه قليلا إن استطاع؛ لكي يكون وجهه هو المتجه للقبلة، وهذا معنى كلام المصنف.

Ia berkata, “Jika tidak mampu duduk, maka salatlah dengan berbaring pada salah satu sisi,” sebagaimana disebutkan dalam hadis Imran bin Hushain, “Jika tidak mampu, maka berbaringlah pada salah satu sisi.”

Salat dengan berbaring pada sisi memiliki tiga tata cara berdasarkan urutan keutamaannya:

Yang paling utama adalah berbaring pada sisi kanan dengan wajah menghadap ke arah kiblat. Maksudnya, kepala mengarah ke barat, dan wajah menghadap ke selatan (karena kiblat berada di selatan). Ini adalah tata cara yang paling utama.

Kemudian, yang berikutnya adalah berbaring pada sisi kiri dengan wajah tetap menghadap kiblat. Mengapa kedua cara ini lebih utama? Karena berdasarkan lafaz hadis Imran, “berbaring pada salah satu sisi,” yang mencakup sisi kanan maupun sisi kiri. Namun, sisi kanan lebih diutamakan, sebagaimana dilakukan ketika tidur atau saat jenazah diletakkan dalam kubur.

Keadaan ketiga: yang diperbolehkan tetapi lebih rendah dari dua cara sebelumnya, yaitu tidur terlentang. Namun, jika tidur terlentang, ia hendaknya mengarahkan kedua kakinya ke kiblat dan sedikit mengangkat kepalanya jika mampu, agar wajahnya tetap menghadap ke arah kiblat. Inilah yang dimaksud oleh perkataan penulis.