Pasal : Istinja'
الاسْتِنْجَاءُ وَاجِبٌ مِنْ كُلِّ خَارِجٍ إِلَّا : الرِّيحَ،
وَالطَّاهِرَ، وَغَيْرَ المُلَوَّثِ.
Istinja (bersuci
setelah buang air) diwajibkan[1]
untuk segala sesuatu yang keluar dari tubuh kecuali angin, sesuatu yang suci,
dan yang tidak mengotori[2].
وَسُنَّ عِنْدَ دُخُولِ
الخَلَاءِ قَوْلُ : (بِاسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوذُ بِكَ مِنَ الخُبُثِ وَالخَبَائِثِ).
Disunnahkan saat masuk
ke kamar kecil untuk membaca: “Bismillah, Allahumma inni a’udzu bika minal
khubutsi wal khaba’its.”
وَبَعْدَ خُرُوجٍ مِنْهُ: «غُفْرَانَكَ»،
«الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنِّي الأَذَى وَعَافَانِي».
Setelah keluar dari
kamar kecil, disunnahkan mengucapkan: “Ghufranaka”, dan “Alhamdulillahilladzi
adzhaba ‘anni al-adza wa ‘afani.”
وَتَغْطِيَةُ رَأْسٍ، وَانْتِعَالٌ، وَتَقْدِيمُ رِجْلِهِ
اليُسْرَى دُخُولًا، وَاعْتِمَادُهُ عَلَيْهَا جَالِسًا، وَاليُمْنَى خُرُوجًا، عَكْسُ
مَسْجِدٍ وَنَعْلٍ، وَنَحْوِهِمَا.
Disunnahkan juga
(ketika masuk kamar kecil) menutup kepala[3],
mengenakan alas kaki, melangkahkan kaki kiri terlebih dahulu saat masuk, duduk
dengan bertumpu pada kaki kiri, serta keluar dengan mendahulukan kaki kanan. (Semua ini berlawanan dengan adab ketika
masuk masjid, memakai alas kaki, atau hal serupa lainnya.)
وَبُعْدٌ فِي فَضَاءٍ، وَطَلَبُ مَكَانٍ رِخْوٍ لِبَوْلٍ.
Disunnahkan juga di
tempat terbuka untuk menjauh dari keramaian[4],
dan mencari tempat dengan tanah yang lunak saat hendak buang air kecil[5].
وَمَسْحُ الذَّكَرِ بِاليَدِ اليُسْرَى إِذَا انْقَطَعَ البَوْلُ
مِنْ أَصْلِهِ إِلَى رَأْسِهِ ثَلَاثًا، وَنَتْرُهُ ثَلَاثًا.
Disunnahkan mengusap
kemaluan dengan tangan kiri setelah selesai buang air kecil, dari pangkal
hingga ujung sebanyak tiga kali, serta menariknya (menggoyangkan sedikit) tiga
kali.
وَكُرِهَ دُخُولُ خَلَاءٍ
بِمَا فِيهِ ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى، وَكَلَامٌ فِيهِ بِلَا حَاجَةٍ.
Makruh (tidak disukai)
memasuki tempat buang hajat dengan membawa benda yang berisi nama Allah Ta’ala,
dan berbicara di dalamnya tanpa keperluan.
وَرَفْعُ ثَوْبٍ قَبْلَ الدُّنُوِّ مِنَ الأَرْضِ.
Makruh mengangkat
pakaian sebelum dekat dengan tanah.
وَبَوْلٌ فِي شَقٍّ وَنَحْوِهِ، وَمَسُّ فَرْجٍ بِيَمِينٍ
بِلَا حَاجَةٍ، وَاسْتِقْبَالُ النَّيِّرَيْنِ.
Makruh buang air kecil
di lubang tanah atau tempat serupa, menyentuh kemaluan dengan tangan kanan
tanpa kebutuhan, serta menghadap atau membelakangi matahari dan bulan.
وَحَرُمَ اسْتِقْبَالُ
قِبْلَةٍ وَاسْتِدْبَارُهَا فِي غَيْرِ بُنْيَانٍ.
Menghadap atau membelakangi kiblat saat buang
air, kecuali di dalam bangunan.
وَلُبْثٌ فَوْقَ الحَاجَةِ، وَبَوْلٌ فِي طَرِيقٍ مَسْلُوكٍ
وَنَحْوِهِ، وَتَحْتَ شَجَرَةٍ مُثْمِرَةٍ ثَمَرًا مَقْصُودًا.
Haram berlama-lama di
tempat buang hajat tanpa kebutuhan, buang air di jalan umum atau sejenisnya,
serta di bawah pohon yang berbuah dan dimanfaatkan.
وَسُنَّ اسْتِجْمَارٌ
ثُمَّ اسْتِنْجَاءٌ بِمَاءٍ، وَيَجُوزُ الاقْتِصَارُ عَلَى أَحَدِهِمَا، لَكِنَّ المَاءَ
أَفْضَلُ.
Disunnahkan
beristijmar (bersuci dengan benda kering) terlebih dahulu, kemudian beristinja
dengan air. Namun, diperbolehkan mencukupkan salah satunya, tetapi air lebih
utama.
وَلَا يَصِحُّ اسْتِجْمَارٌ إِلَّا بِطَاهِرٍ، مُبَاحٍ، يَابِسٍ،
مُنَقٍّ.
Istijmar tidak sah
kecuali dengan sesuatu yang suci, diperbolehkan, kering, dan dapat
membersihkan.
وَحَرُمَ بِرَوْثٍ، وَعَظْمٍ،
وَطَعَامٍ، وَذِي حُرْمَةٍ، وَمُتَّصِلٍ بِحَيَوَانٍ.
Haram beristijmar
dengan kotoran hewan, tulang, makanan, benda yang dihormati, atau benda yang
masih menyatu dengan hewan hidup.
وَشُرِطَ لَهُ : عَدَمُ تَعَدِّي خَارِجِ مَوْضِعِ العَادَةِ،
وَثَلَاثُ مَسَحَاتٍ مُنَقِّيَةٍ فَأَكْثَر.
Disyaratkan tidak ada
najis yang melebihi tempat biasa najis[6],
serta dilakukan minimal tiga usapan yang dapat membersihkan.
[1] Disebutkan oleh Ahmad bin
Nashir al-Qu’aimiy di dalam kitabnya al-Hawasyiy as-Sabighot hal 18 :
الاستنجاء ليس واجبا على الفور، وإنما يجب إذا أراد
الصلاة ونحوها فقط، ذكره الشيخ منصور في شرح المنتهى، والروض المربع.
Istinja’
tidak wajib segera dilakukan, namun yang wajib adalah jika seseorang hendak melaksanakan
shalat atau hal-hal sejenisnya. Hal ini disebutkan oleh as-Syaikh Manshur di
Syarh al-Muntaha dan ar-Roudh al-Murbi’.
[2] Ahmad bin Nashir al-Qu’aimiy memberikan contoh di
dalam kitabnya al-Hawasyiy as-Sabighot hal 18 untuk الطَّاهِر seperti
air mani, dan غير الملوث seperti kotoran kering. As-Syaikh menyebutkan meskipun terkena
kotoran kering tidak harus untuk dibersihkan, namun hal ini dapat membatalkan
wudhu’.
[3] Dari
Zubair bin Awam, beliau mengatakan :
أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ ، قَالَ ، وَهُوَ يَخْطُبُ
النَّاسَ : ” يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ، اسْتَحْيُوا مِنَ اللهِ، فَوَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ إنِّي لأظل حِين أَذْهَبُ إلَى الْغَائِطِ فِي الْفَضَاءِ ، مُغَطّيًا رَأْسِي
اسْتِحْيَاءً مِنْ رَبِّي
Bahwa
Abu Bakr as-Shidiq pernah berkhutbah, “Wahai kaum muslimin, malulah kalian
kepada Allah. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ketika saya hendak
buang air di luar, saya tutupi kepalaku karena malu kepada Rabku.” (HR. Ibnul
Mubarok dalam az-Zuhd (1/107) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushanaf (1/105).
Para
ulama menganjurkan untuk menutup kepala ketika hendak buang air, karena alasan
menjaga adab. An-Nawawi mengatakan,
قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْغَزَالِيُّ وَالْبَغَوِيُّ
وَآخَرُونَ : يستحب أن لا يدخل الْخَلَاءَ مَكْشُوفَ الرَّأْسِ
Imamul
Haramain, al-Ghazali, al-Baghawi dan ulama lainnya mengatakan, ‘Dianjurkan
untuk tidak masuk tempat buang hajat dengan kepala terbuka.’ (al-Majmu’, 2/93)
Al-Mardawi
dalam al-Inshaf juga mengatakan,
يُسْتَحَبُّ تَغْطِيَةُ رَأْسِهِ حَالَ التَّخَلِّي. ذَكَرَهُ
جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَصْحَابِ
Dianjurkan
untuk menutup kepala ketika buang hajat. Demikian yang disebutkan dari beberapa
ulama madzhab hambali. (al-Inshaf, 1/97).
[4] Seperti padang pasir.
[5] Agar
tidak terkena percikan air kencing.
[6] Misalnya
mengenai paha atau bagian tubuh lain. Karena bila sampai terkena, istijmar saja
tidak mencukupi, dan harus menggunakan air untuk membersihkan.