Kitab Janaiz
تَرْكُ الدَّوَاءِ أَفْضَلُ.
Meninggalkan
pengobatan lebih utama[1].
وَسُنَّ : اسْتِعْدَادٌ لِلمَوْتِ، وَإِكْثَارٌ مِنْ ذِكْرِهِ،
وَعِيَادَةُ مُسْلِمٍ غَيْرِ مُبْتَدِعٍ، وَتَذْكِيرُهُ التَّوْبَةَ، وَالوَصِيَّةَ
.
Disunnahkan
mempersiapkan diri menghadapi kematian, memperbanyak mengingat kematian,
menjenguk seorang muslim yang tidak melakukan bid'ah[2],
serta mengingatkannya untuk bertaubat dan menulis wasiat.
فَإِذَا نُزِلَ بِهِ سُنَّ : تَعَاهُدُ بَلِّ حَلْقِهِ بِمَاءٍ
أَوْ شَرَابٍ، وَتَنْدِيَةُ شَفَتَيْهِ، وَتَلْقِيتُهُ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مَرَّةً،
وَلَا يُزَادُ عَلَى ثَلَاثٍ، إِلَّا أَنْ يَتَكَلَّمَ فَيُعَادُ بِرِفْقٍ، وَقِرَاءَةُ
: الفَاتِحَةِ، و«يس» عِنْدَهُ، وَتَوْجِيهُهُ إِلَى القِبْلَةِ.
Apabila seseorang
sedang menghadapi sakaratul maut, disunnahkan membasahi tenggorokannya dengan
air atau minuman, melembapkan bibirnya, menuntunnya untuk mengucapkan La ilaha
illallah satu kali, dan tidak menambahkan lebih dari tiga kali kecuali jika ia kembali
berbicara, maka dituntun lagi dengan lembut. Selain itu, disunnahkan membaca
surah Al-Fatihah dan Yasin di dekatnya serta mengarahkan tubuhnya ke arah
kiblat.
وَإِذَا مَاتَ : تَغْمِيضُ عَيْنَيْهِ، وَشَدُّ لَحْيَيْهِ،
وَتَلْبِينُ مَفَاصِلِهِ، وَخَلْعُ ثِيَابِهِ، وَسَتْرُهُ بِثَوْبٍ، وَوَضْعُ حَدِيدَةٍ
أَوْ نَحْوِهَا عَلَى بَطْنِهِ، وَجَعْلُهُ عَلَى سَرِيرِ غُسْلِهِ مُتَوَجِّهًا مُنْحَدِرًا
نَحْوَ رِجْلَيْهِ، وَإِسْرَاعُ تَجْهِيزِهِ، وَيَجِبُ فِي نَحْوِ : تَفْرِيقِ وَصِيَّتِهِ،
وَقَضَاءِ دَيْنِهِ.
Apabila seseorang
telah meninggal, disunnahkan menutup kedua matanya, mengikat dagunya,
melenturkan persendiannya, melepaskan pakaiannya, menutup tubuhnya dengan kain,
meletakkan besi atau benda berat lainnya di perutnya, menempatkannya di atas
keranda mandi dengan posisi tubuh menghadap kiblat dan bagian tubuhnya yang
lebih rendah berada di kaki. Disunnahkan mempercepat proses pengurusan jenazah.
Kewajiban yang berkaitan dengan jenazah meliputi pelaksanaan wasiatnya dan
pelunasan hutang-hutangnya.
[1]Disebutkan oleh Syaikh asy-Syuwai’ir di dalam
kitabnya hal 264 :
العلاج والتداوي حكي إجماع أهل العلم
على أنه ليس بواجب وإنما هو دائر بين الإباحة والندب وخلاف الأولى، وقد ذكر المصنف
هنا ما يراه هو وما يراه بعض الفقهاء، أن ترك التدواي أفضل لكن الشرط لمن صبر واحتسب،
صبر على الألم وصبر على المرض، واحتسب الأجر عند الله عز وجل، وأما إن شق به مرضه أو
اختلف حاله من صورة إلى صورة، فإن التداوي قد يكون في حقه أفضل.
وأما
وجوب التداوي فقد حكي الاتفاق حكاه جمع من فقهائنا أنه لا يجب التداوي، نعم لكن ليس
معنى عدم وجوب التداوي أن الإنسان يسعى لإمراض نفسه، فلا يجوز للمرء أن يعرض نفسه وَلَا
تُلْقُوا بأَيْدِيكُم إلى الملكة [البقرة: ١٩٥)، لعموم هذه الآية.
Pengobatan dan
penyembuhan menurut ijma’ ulama tidaklah wajib, melainkan berada di antara
kebolehan (mubah), anjuran (mandub), dan sesuatu yang lebih utama
ditinggalkan (khilaf al-awla). Penulis di sini menyebutkan pandangan yang ia pegang
dan pandangan sebagian ulama fikih, bahwa meninggalkan pengobatan lebih utama,
dengan syarat orang tersebut bersabar dan mengharap pahala. Bersabar atas rasa
sakit dan penyakitnya, serta mengharapkan pahala dari Allah. Namun, jika
penyakitnya memberatkan atau kondisi fisiknya berubah drastis, maka pengobatan
mungkin lebih utama baginya.
Adapun
kewajiban berobat, telah dinyatakan kesepakatan para ulama bahwa pengobatan
tidaklah wajib, sebagaimana disebutkan oleh sejumlah ulama fikih kami. Namun,
tidak wajibnya pengobatan bukan berarti seseorang boleh dengan sengaja membuat
dirinya sakit. Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mencelakakan dirinya
sendiri, sebagaimana firman Allah : "Dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan" (QS. Al-Baqarah: 195). Ayat ini
bersifat umum dan mencakup larangan terhadap tindakan yang merugikan diri
sendiri.
Syaikh
al-Qu’aimiy di dalam kitabnya ar-Riyadh an-Nadhirot hal 382 juga menjelaskan :
(تَرْكُ الدَّوَاءِ) لِمَرِيضٍ (أَفْضَلُ) نَصًّا؛
لأَنَّهُ أَقْرَبُ إِلى التَّوَكُّلِ، ولا يجب ولو ظُنَّ نَفْعُهُ؛ إِذِ
النَّافِعُ في الحقيقةِ والضَّارُّ هو اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، والدَّواء لا
ينجح بذاته.
ويَحرُمُ تداو بمُحرَّمٍ، ويجوز ببول إبلٍ نصا، ويُبَاحُ
كتبُ قُرآنِ وذكْرٍ بإناء لحاملٍ لعسرِ الولادة ولِمريض ويُسقيانه نصا.
Meninggalkan pengobatan bagi orang yang sakit lebih utama secara
tegas, karena hal itu lebih mendekatkan pada sikap tawakal. Pengobatan tidaklah
wajib, meskipun diyakini ada manfaatnya, karena sejatinya yang memberikan
manfaat dan mudarat adalah Allah, sedangkan obat tidak memberikan pengaruh
secara dzatnya.
Diharamkan berobat dengan sesuatu yang haram. Namun, diperbolehkan secara
tegas berobat dengan air seni unta. Dibolehkan juga menuliskan Al-Qur’an
dan zikir pada wadah untuk diberikan kepada wanita hamil yang mengalami
kesulitan melahirkan atau kepada orang yang sakit, kemudian keduanya meminum
air tersebut, berdasarkan nash yang jelas.
Apa
nashnya ?
لحديثِ الصِّدِّيْقِ عن أبي السفر قال : مرِض أبو بكر فقالوا
: ألا ندعو الطبيب؟ فقال : قد رآني فقال : إني فعال لما أريد
Hadis tentang
Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu 'anhu ini diriwayatkan dari Abu As-Safar.
Beliau berkata: Ketika Abu Bakar sedang sakit, orang-orang berkata kepadanya,
"Tidakkah kami panggilkan seorang tabib untukmu?" Maka beliau
menjawab, "Tabib itu telah melihatku dan berkata, ‘Sesungguhnya Aku
berbuat sesuai dengan apa yang Aku kehendaki.’”
Fauzan
al Atsary menambahkan : Syaikh
Ibnu Utsaimin di dalam kitab Syarhul Mumti, beliau menjelaskan bahwa berobat
itu diperbolehkan dan tidak ada yang salah dengan itu. Islam sangat mengajarkan
untuk menjaga kesehatan dan berusaha mencari kesembuhan.
Tapi, dalam
kasus tertentu, apabila seseorang memiliki keyakinan bahwa berobat bisa
menghalangi tawakalnya kepada Allah atau apabila ia merasa lebih baik dengan
bersabar tanpa pengobatan, maka memilih untuk tidak berobat bisa menjadi
pilihan yang lebih utama. Tapi, ia harus tetap menjaga keyakinannya bahwa
segala kesembuhan adalah milik Allah. Allahu a'lam
[2] Syaikh
al-Qu’aimiy di dalam kitabnya al-Hawasyiy as-Sabighot hal 172 mengatakan :
أي: غير مبتدع
في الدين يجب هجره، وفي الإقناع: (ومثله: من جهر بالمعصية) .
(تتمة) الذي لا تشرع عيادته: ۱ - من يجب هجره كالرافضي، فلا تجوز عيادته، ۲ - ومن يسن هجره كالمجاهر بالمعصية، فلا تسن عيادته، بل تكره
ليرتدع ويتوب ، ٣ - الذمّي ، فتحرم عيادته ؛ لأنه تعظيم لهم أشبه السلام. والقول الثاني
في المذهب: ما قاله في الإقناع في كتاب الجهاد في باب أحكام أهل الذمة، قال في الكشاف
- بعد أن قدم تحريم عيادتهم : ((وعنه تجوز العيادة) أي: عيادة الذمي (إن رجي إسلامه،
فيعرضه عليه، واختاره الشيخ وغيره) ؛ لما روى أنس ((أن النبي - ﷺ - عاد يهودياً، وعرض
عليه الإسلام فأسلم، فخرج وهو يقول: الحمد لله الذي أنقذه بي من النار)) ، رواه البخاري،
ولأنه من مكارم الأخلاق).
Maksudnya, orang yang melakukan bid'ah dalam agama wajib
dijauhi. Dalam
kitab Al-Iqna', disebutkan: "Demikian pula orang yang
terang-terangan melakukan maksiat."
Tambahan: Orang yang tidak
disyariatkan untuk dijenguk adalah:
1.
Orang yang wajib dijauhi, seperti Rafidhah,
sehingga tidak boleh dijenguk.
2.
Orang yang disunnahkan untuk dijauhi, seperti
yang terang-terangan melakukan maksiat, sehingga tidak disunnahkan untuk
dijenguk, bahkan makruh, agar ia jera dan bertaubat.
3.
Ahli dzimmah (non-Muslim di bawah perlindungan
negara Islam), haram dijenguk karena itu dianggap sebagai bentuk penghormatan
yang menyerupai memberi salam.
Pendapat kedua dalam mazhab ini
adalah seperti yang disebutkan dalam Al-Iqna' dalam kitab jihad pada bab
hukum-hukum ahli dzimmah. Dalam Al-Kasyaf, setelah menjelaskan keharaman
menjenguk ahli dzimmah, disebutkan: "Ada pendapat yang membolehkan
menjenguk ahli dzimmah jika diharapkan keislamannya, lalu ia diajak
untuk memeluk Islam. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh (Ibnu Taimiyah) dan
lainnya."
Dalilnya adalah hadis riwayat
Anas, bahwa Nabi ﷺ menjenguk seorang Yahudi, lalu mengajaknya masuk Islam hingga
ia pun masuk Islam. Nabi ﷺ keluar seraya berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah
menyelamatkannya dari neraka melalui perantaraanku." Hadis ini
diriwayatkan oleh Al-Bukhari, dan menjenguk mereka dianggap sebagai bagian dari
akhlak mulia.
Sebagian gambaran
kebencian salaf dan aimmah [para imam] terhadap bid’ah
Imam Al Barbahari Rahimahullah
berkata:
"Permisalan para pelaku
kebid'ahan adalah seperti kalajengking, mereka menyembunyikan kepala-kepala dan
badan-badan mereka dibawah tanah. Namun jika mereka memiliki kesempatan sungguh
mereka akan menyengat. Demikian juga ahlul bid'ah, mereka bersembunyi di
tengah-tengah manusia, maka jika mereka memiliki kesempatan niscaya mereka akan
menyebarkan kebid'ahannya." Thabaqat al Hanabillah (2/44)
Asy-Syafi’i (150-204 H)
berkata: “Tidaklah seorang hamba kelak akan bertemu dengan Allah dengan segala
dosanya kecuali kesyirikan, itu lebih baik daripada ia bertemu Allah dengan
sesuatu dari hawa nafsu (bid’ah).
Ibnu al-Mubarok (118-181 H)
berkata: “Ya Allah, jangan jadikan para pelaku bid’ah penolong disisiku, lantas
hatiku mencintai mereka.”
Ibrahim bin Maisurah (132 H)
berkata: “Barangsiapa yang menghormati pelaku bid’ah, maka dia telah
berkontribusi dalam menghacurkan Islam.”
Imam Ahmad (164-241 H) berkata:
“Jika seseorang selamat dari pelaku bid’ah maka dialah orang yang dicintai”
Al-Baghawi (436-516 H) berkata:
“Telah sempurna para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan para ulama
sunnah, mereka semua telah sepakat untuk memusuhi ahli bid’ah dan memutus
hubungan dengan mereka.”
Muhammad bin Abdul Wahab
(1115-1206 H) berkata: “Barangsiapa yang taat kepada Rasul dan Meng-Esakan
Allah, tidak boleh baginya untuk berloyal kepada mereka yang menyimpang dari
Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah kerabat dekat, ataupun mereka adalah
bapak kalian atau anak kalian atau saudara kalian atau keuarga kalian.”
Abdul Lathif bin Abdurrahman
Ali as-Syaikh (1225 H) berkata: “Dan termasuk dari sunnah yang telah diwariskan
para umat terdahulu dan para imam-imamnya, serta apa yang dilakukan oleh imam
Ahmad bin Hambal, yaitu keras dalam memutuskan hubungan dengan ahli bid’ah,
meninggalkan perdebatan dengan mereka serta membuang jauh-jauh perkataan
mereka, saling berjauhan sebisa mungkin,
dan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membenci, mencela, serta
menjatuhkan aib kepada mereka.
Humud at-Tuwaijiri (1334-1342
H) berkata: “sungguh, para salaf shalih memperingatkan dari pelaku bid’ah, dan
menyerukan untuk berhati-hati dari mereka, serta melarang mereka untuk duduk
bersama, bersahabat dengan mereka, dan mendengar perkataan mereka. Para salaf
juga menyuruh untuk menjauh dari mereka, memusuhinya, membencinya, serta meng
hajr mereka.”
Kebencian Imam
asy-Syafi’i terhadap bid’ah filsafat [ilmu kalam]
·
Pernah ada seseorang mendebat Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu tentang suatu permasalahan, maka beliau berkata: Tinggalkan
(debat kusir ini) karena ini adalah metode ilmu kalam.
·
Dan suatu saat beliau pernah mendengar ada dua
orang yang sedang berbincang-bincang tentang ilmu kalam, maka beliau berkata:
Kalian bisa menjadi tetangga kami dengan kebaikan atau kalian pergi
meninggalkan kami.
·
Beliau berkata: Demi Allah seandainya ada
seseorang yang diuji oleh Allah dengan segala bentuk larangan Allah (maksiat)
selain kesyirikan, maka itu masih lebih baik daripada dia belajar ilmu kalam.
·
Yunus bin Abdul A’la berkata: Pernah Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata kepadaku: Wahai Abu Musa, aku telah
mengetahui (kesesatan) ilmu Kalam yang seandainya ada seseorang berbuat segala
bentuk larangan Allah selain kesyirikan, maka itu lebih aku sukai daripada aku
melihatnya menjadi pengikut ilmu Kalam.
·
Abu Tsaur berkata: Imam Asy Syafi’i
rahimahullahu berkata kepadaku: Wahai Abu Tsaur, aku tidak pernah melihat
seorang pun dari pengikut ilmu Kalam yang bahagia.
·
Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam berkata:
Imam Asy Syafi’i rahimahullahu berkata kepadaku: Wahai Muhammad, jika ada
seseorang bertanya kepadamu tentang ilmu kalam, maka jangan engkau jawab.
·
Ar Rabi’ berkata: Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
berkata: Wahai Rabi’, terimalah dariku tiga hal ini:
1.
Jangan kalian mencela para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam karena musuhmu pada hari kiamat adalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2.
Jangan belajar ilmu kalam karena aku melihat
pengikut ilmu kalam di atas ajaran ta’thil (menafikan nama-nama dan sifat-sifat
Allah).
3.
Jangan belajar ilmu (ramalan) perbintangan.
·
Husain Al-Karabisi berkata: Pernah Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu ditanya tentang sesuatu dari ilmu kalam, maka beliau
pun marah seraya berkata: Tanya saja kepada Hafsh Al-Fard dan para pengikutnya
-semoga Allah menghinakan mereka-.
·
Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: Hukuman
yang aku berikan kepada ahli Kalam adalah hukuman Umar bin Al-Khattab
Radhiyallahu ‘anhu kepada Shabigh (dicambuk 200 kali dan diasingkan setahun).
·
Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: Hukuman
yang aku berikan kepada ahli Kalam adalah mereka dipukul dengan pelepah kurma
kemudian dinaikkan unta serta diarak di kabilah-kabilah, seraya diumumkan:
Inilah hukuman bagi yang meninggalkan Al-Quran serta As-Sunnah dan dia
belajar/mengikuti ilmu Kalam.
·
Dan beliau juga berkata: Aku berpendapat tentang
ahli kalam untuk dicambuk kepala mereka dengan cemeti dan diusir dari negeri
mereka.