HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar
Kamus Hafalan Durusul Lughah Jilid 2

Pengertian Huruf di dalam Bahasa Arab [LENGKAP dan MENDALAM]

PENGERTIAN HARF ATAU HURUF DALAM BAHASA ARAB

Huruf menurut bahasa artinya الطَّرَفُ, yaitu “tepian atau ujung”, sebagaimana Allah ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللهَ عَلَى حَرْفٍ

Di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepiannya saja

Maknanya apa? Imannya adalah iman yang lemah, tidak kokoh.

Sebagaimana seseorang ketika berdiri di tepi jurang, maka tentu pijakannya tidak kokoh. Dia gemetar, khawatir jatuh, dst.

Maka seseorang yang keyakinannya masih lemah, belum kokoh, dia akan memilih ibadah mana yang kira-kira menguntungkan dirinya dan menghindari apa yang merugikannya dalam ukuran duniawi.

Maka di dalam bahasa Arab ada salah satu jenis kalimah yang disebut dengan huruf.

Ia dinamakan dengan huruf karena memang asalnya terletak di tepian kalimat, atau berada di ujung kalimat (طَرَفُ الجُمْلَةِ).

Artinya, tidak mungkin huruf ini berfungsi sebagai ‘umdatul kalam (inti kalimat).

Misalnya ketika kita mengatakan:

جَلَسَ عَلِيٌّ عَلَى الكُرْسِيِّ

Kata (عَلَى) di sana berada pada susunan asalnya, yakni bahwasanya huruf baru muncul setelah kalimat itu terpenuhi musnad dan musnad ilaih-nya, yaitu (جَلَسَ عَلِيٌّ).

Sudah disebutkan fi’il dan fa’il-nya, baru setelah itu muncul huruf (عَلَى).

Kendati demikian, huruf bisa dipindahkan posisinya, misalnya:

  • Dipindahkan ke depan, menjadi (عَلَى الكُرسِيِّ جَلَسَ عَلِيٌّ), atau
  • Dipindahkan ke tengah, (جَلَسَ عَلَى الكُرْسِيِّ عَلِيٌّ)

Tetap saja tidak bisa mengubah fungsi huruf itu sendiri menjadi ‘umdah.

Bukan berarti ketika (عَلَى الكُرْسِيِّ) dipindahkan ke depan ia menjadi ‘umdatul kalam, tidak.

Atau ketika dipindah ke tengah menjadi ‘umdatul kalam, tidak.

Maka dari itu ia disebut huruf yang artinya tetap posisinya dianggap di akhir, karena memang ia adalah tambahan.

Adapun huruf menurut istilah ada banyak sekali pengertiannya, dan salah satunya sebagaimana yang disampaikan oleh penulis di sini,

الحَرْفُ هُوَ كُلُّ كَلِمَةٍ لَيْسَ لَهَا مَعْنًى إِلَّا مَعَ غَيْرِهَا

Huruf adalah setiap kata yang tidak bermakna kecuali bersama yang lainnya.

Ungkapan ini, saya yakin penulis mengutipnya dari ulama lain, namun sebagaimana biasanya, beliau tidak pernah mencantumkan sumbernya.

Dan ini biasa, apalagi di zaman dahulu. Kalau beliau itu termasuk mu’ashirin (belakangan), mungkin beliau mengikuti ulama terdahulu.

Ulama terdahulu tidak pernah mengutip karena memang pada zaman itu tidak pernah ada aturan mengutip. Baru ada aturan mengutip, catatan kaki, dst itu adalah belakangan.

Dan sebetulnya definisi yang disampaikan penulis ini mirip dengan apa yang pernah disampaikan oleh ar-Rummani (wafat 384 H) di kitabnya Risalatul Hudud. Di sana disebutkan:

الحَرْفُ كَلِمَةٌ لَا تَدُلُّ عَلَى مَعْنًى إِلَّا مَعَ غَيْرِهَا

Huruf adalah kalimah (kata) yang tidak bermakna kecuali bersama kalimah yang lain.

Apa maksud ungkapan “tidak bermakna kecuali bersama yang lain”?

As-Sirofi pernah menjelaskan mengenai makna ungkapan tersebut:

Ucapan kami mengenai huruf bahwa ia menunjukkan makna bersama dengan yang lainnya, maksudnya adalah gambaran makna huruf tersebut bergantung pada makna eksternal (makna di luar dirinya sendiri).

Tidak seperti isim. Isim bisa bermakna dengan sendirinya, tidak bergantung pada makna eksternal. Kemudian beliau melanjutkan,

Tidakkah kamu melihat jika kamu bertanya, “apa makna (مِنْ)?” kemudian dijawab, “التَّبْعيْضُ” (sebagian), dan (مِنْ) tersebut dalam kondisi tunggal.

Artinya (مِنْ) tersebut tidak bersambung dengan kata apapun. Murni (مِنْ) saja. Kemudian ada yang menjawab artinya التَّبْعيْضُ (sebagian). Kata beliau,

Dan yang semisal ini, sebenarnya kamu belum bisa memahami makna (مِنْ) dengan tepat kecuali jika sudah mengetahui sebagian dari keseluruhan.

Maksudnya, kamu tidak bisa menentukan makna (مِنْ) itu (التَّبْعيْضُ), karena kita sudah mengetahui الجُزْءُ وَالكُلُّ (yang sebagian dan yang keseluruhan). Yang sebagian itu (طَالِبًا) dan yang keseluruhan itu (الطُّلَّابِ).

Maka dari sini bisa kita tentukan makna (مِنْ), yaitu sebagian.

Karena makna (مِنْ) itu ada banyak tidak mesti “sebagian”, tergantung konteks kalimatnya.

Maka inilah yang dimaksud: “huruf itu tidak bermakna kecuali bersama kata yang lain”.

Dan sebetulnya di sinilah letak rahasia mengapa huruf pada asalnya beramal, dan mengapa ada huruf yang tidak beramal.

Bukan sekedar karena huruf ini adalah huruf yang khusus, yang ia hanya bisa bertemu dengan isim atau yang hanya bisa bertemu dengan fi’il sehingga ia beramal.

Sedangkan jika ia bisa bertemu keduanya maka tidak beramal. Tidak sekedar itu alasannya. Jika kita mau melihat lebih dalam, sebetulnya amalan ini berkaitan erat dengan makna huruf itu sendiri. Nanti kita akan bahas ini di permulaan pasal pertama, insyaallah.

Ciri Huruf

Sebagaimana kita ketahui huruf adalah kalimah yang tidak memiliki ciri-ciri, tidak seperti isim dan fi’il. Ini pernah disampaikan oleh al-Hariri, di mana beliau pernah bersyair di kitabnya Mulhatul I’rob,

فَقِسْ عَلَى قَوْلٍ تَكُنْ عَلَامَهْ وَالحَرْفُ مَا لَيْسَتْ لَهُ عَلَامَهْ

Huruf adalah kata yang tidak memiliki ciri ❈ Maka renungkanlah ucapanku ini, kau akan menjadi seorang yang alim

Kemudian penulis menyebutkan bahwa huruf itu jumlahnya sedikit, jika dibandingkan dengan isim dan fi’il. Dan ini benar adanya.

Karena memang isim dan fi’il dalam bahasa Arab ada ratusan juta jumlahnya, sedangkan huruf itu menurut penulis, jumlahnya tidak lebih dari 80 huruf.

Meskipun ini khilaf di kalangan ulama.

Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Ummi Qosim seorang ulama (wafat 749 H) penulis kitab al-Janad Dani, ada ulama yang mengatakan jumlah huruf itu 73, ada yang mengatakan 90 huruf lebih, dan ada yang mengatakan jumlah huruf lebih dari 100 huruf, di antaranya beliau sendiri.

Di mana beliau menyebutkan di kitab al-Janad Dani lebih dari 100 huruf.

Dan huruf ini semuanya mabni, ini benar adanya.

Artinya tidak ada huruf yang mu’rob.

Penulis menyebutkan bahwa ada yang mabni dengan sukun dan ada yang mabni dengan harokat.

Di kitab al-Mulakhos disebutkan contohnya masing-masing.

Kemudian beliau membagi huruf berdasarkan posisinya dalam kalimat dan pengaruhnya terhadap kata setelahnya.

Beliau bagi huruf menjadi tiga kelompok:

  1. ada yang bertemu dengan isim saja,
  2. ada yang bertemu dengan fi’il saja,
  3. dan ada yang bisa bertemu dengan keduanya.

Kaidah Amalan Huruf

Sebelum kita masuk ke pasal pertama, yaitu huruf-huruf yang bisa bertemu dengan isim, kita menyambung apa yang sudah kita bicarakan di muqoddimah, bahwa huruf itu pada asalnya beramal. Ada juga sebagian huruf yang tidak beramal.

Huruf yang bertemu dengan isim pada asalnya adalah huruf yang beramal, meskipun ada sebagian yang tidak beramal seperti yang disebutkan oleh penulis nanti, yaitu lamul ibtida.

Lamul ibtida adalah huruf yang tidak beramal meskipun dia hanya bertemu dengan isim, yakni hanya bertemu dengan mubtada.

Contoh lainnya أل .أل juga hanya bertemu dengan isim, bahkan menjadi ciri khas isim, akan tetapi dia tidak beramal kepada isim.

Mungkin kita bertanya-tanya mengapa ada huruf mukhtash tetapi tidak beramal?

Sebetulnya kuncinya ada di makna.

Tadi sudah saya sampaikan bahwa huruf itu tidak bermakna melainkan jika ia bersama-sama dengan yang lain.

Dan sebagai tanda bahwa huruf tersebut sudah sempurna maknanya, sudah bisa kita tentukan maknanya, tidak multi makna, adalah ia menunjukkan pengaruh terhadap kata yang menyempurnakan maknanya tersebut.

Sebagai ilustrasi, seseorang ketika dia telah menyempurnakan separuh agamanya maka akan nampak atsar, akan mempengaruhi dirinya dan pasangannya dalam kehidupannya yang baru.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.

Maka tanda bahwa telah sempurna separuh agama seseorang adalah adanya ketenangan hati.

Demikian juga jika ditanya, apa tandanya مِنْ pada kalimat ذَهَبْتُ إِلَى المَسْجِدِ telah sempurna maknanya?

Kita katakan, tandanya adalah isim setelahnya majrur.

Kasroh pada kata المَسْجِدِ di sana menandakan bahwa makna مِنْ nya sudah sempurna, yaitu “dari”.

Tidak bisa kita ubah lagi maknanya, misalnya menjadi “sebagian” atau “di antaranya” atau “jenis” atau makna-makna مِنْ yang lainnya.

Tidak bisa kita tafsirkan مِنْ selain “dari”, karena sudah jelas, sudah ada المَسْجِدِ di sana.

Dan sebaliknya ketika مِنْ itu belum beramal, artinya ia berdiri sendiri belum ada kata setelahnya, maka maknanya masih samar, sebagaimana samarnya hati seseorang yang belum menemukan tambatan hati.

Bagaimana dengan huruf mukhtash tetapi tidak beramal kepada kata setelahnya?

Di sini Imam as-Suhaily menjelaskan, bahwa huruf (mukhtash atau ghoiru mukhtash) yang tidak beramal kepada kata setelahnya, hakikatnya huruf tersebut tidak membutuhkan kata lain untuk menyempurnakan maknanya.

Akan tetapi sebaliknya, kata yang terletak setelah huruf yang tidak beramal tersebut yang membutuhkan huruf sebelumnya untuk melengkapi maknanya.

Harap dibedakan pelan-pelan. Saya ulangi sekali lagi.

Ketika huruf beramal kepada kata setelahnya, hakikatnya huruf tersebut butuh kepada kata setelahnya untuk menyempurnakan maknanya, misalnya tadi huruf jarr مِنْ.

Sedangkan ketika huruf tidak beramal kepada kata setelahnya, maka hakikatnya kata setelahnya yang butuh kepada huruf tersebut untuk melengkapi maknanya.

Misalnya أل bersambung dengan isim رَجُلٌ menjadi الرَّجُلُ. Apakah أل yang membutuhkan رَجُلٌ atau رَجُلٌ yang membutuhkan أل ?

Tentu رَجُلٌ yang butuh أل agar ia bisa menjadi ma’rifah, karena kalau tanpa أل ia nakiroh.

Kemudian kita lihat apakah رَجُلٌ maknanya sudah sempurna tanpa أل ?

Jawabannya sudah sempurna.

Ia isim dan bermakna dengan sendirinya.

رَجُلٌ adalah “seorang lelaki”.

Akan tetapi ia butuh pelengkap jika ingin menjadi ma’rifah.

Jika ingin menunjuk seseorang yang sudah tertentu, kita membutuhkan أل.

Maka itu أل tidak beramal kepada رَجُلٌ karena ia tidak butuh رَجُلٌ .

Contoh lain, huruf sin adalah huruf mukhtash yang hanya bisa bertemu dengan fi’il mudhori’.

Apakah ia beramal? Tidak.

Karena ia tidak butuh fi’il setelahnya untuk menyempurnakan maknanya, sebaliknya fi’il yang terletak setelahnya itulah yang butuh sin untuk melengkapi maknanya.

Misalnya سَأَذْهَبُ.

Kata أّذْهَبُ sudah sempurna maknanya tanpa sin, artinya “saya sedang pergi”.

Akan tetapi أّذْهَبُ ini membutuhkan sin untuk melengkapi maknanya agar bermakna mendatang, “saya akan pergi”.

Maka sin tidak beramal kepada أّذْهَبُ karena ia tidak butuh أّذْهَبُ, sebaliknya أّذْهَبُ yang butuh terhadap sin.

Contoh lagi, huruf istifham هَلْ.

Ia adalah huruf ghoiru mukhtash, bisa bertemu dengan isim dan fi’il, dan ia tidak beramal.

Sebagian mengatakan alasan هَلْ tidak beramal adalah karena ia ghoiru mukhtash.

Karena ia bisa bertemu isim dan fi’il.

Sebetulnya sampai di sini sudah betul alasannya, namun menurut saya kurang mendalam.

Buktinya أل dan sin yang keduanya mukhtash juga tidak bisa beramal kepada kata setelahnya.

Maka alasan yang lebih akurat adalah karena kalimat setelah َهَل itu sudah sempurna, dan َهَل tidak butuh kalimat setelahnya.

Justru kalimat setelahnya yang butuh هَل untuk melengkapi maknanya.

Kalimat yang semula bermakna “pernyataan” menjadi bermakna “pertanyaan”. Contohnya,

  • هَلْ bertemu isim: هَلْ زَيْدٌ يَذْهَبُ؟
  • هَلْ bertemu fi’il: هَلْ يَذْهِبُ زَيْدٌ؟

Tanpa هَلْ sebenarnya kalimatnya sudah sempurna,

  • زَيْدٌ يَذْهَبُ – adalah jumlah mufidah, sempurna
  • يَذْهِبُ زَيْدٌ – adalah jumlah mufidah, sempurna

Akan tetapi keduanya butuh هَلْ agar bisa bermakna pertanyaan.

Berbeda dengan مِنَ المَسْجِدِ tadi. المَسْجِدِ tidak butuh مِنْ karena ada مِنْ atau tidak ada مِنْ maknanya tetap sama, yakni “masjid”.

Justru مِنْ yang membutuhkan المَسْجِد, karena tanpa المَسْجِد tidak mungkin مِنْ bermakna “dari”.

Coba kalau yang muncul bukan المَسْجِد, mungkin makna مِنْ bisa berbeda lagi.

Misalnya مِنْ itu bisa bermakna فِي “di dalam”, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الجُمُعَةِ

“apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at.”

Maknanya فِي karena setelahnya يَوْمِ الجُمُعَةِ ي” Hari Jum’at”. Artinya “di dalam” atau “pada Hari Jum’at”, bukan “dari Hari Jum’at”.

Maka yang menentukan makna مِنْ tersebut bisa berbeda-beda adalah kata setelahnya.

Kemudian sudah disampaikan, bahwa sejatinya huruf itu beramal kepada kata yang menyempurnakan maknanya.

Maka sebetulnya kaidah ini juga berlaku pada fi’il.

Mengapa fi’il beramal kepada fa’il dan maf’ul bih? Karena fi’il belum sempurna maknanya kecuali telah dilengkapi oleh fa’il, dan terkadang juga oleh maf’ul bih.

Itulah sebabnya mengapa huruf dan fi’il pada asalnya beramal, sedangkan isim pada asalnya tidak beramal, karena memang maknanya telah sempurna.

Dan huruf selamanya tidak pernah menjadi ma’mul karena memang tidak ada huruf yang mirip dengan isim.

Sedangkan fi’il ada yang bisa menjadi ma’mul karena ia mirip dengan isim, yaitu fi’il mudhori’.

Adapun isim, terkadang ia jadi ‘amil ketika ia mirip dengan fi’il, seperti isim fa’il, isim maf’ul, dan yang lainnya.

Dan isim juga ada yang tidak bisa menjadi ma’mul meskipun asalnya ia adalah ma’mul. Yakni ketika isim tersebut mirip dengan huruf, ialah yang disebut al-asma al-mabniyyat.

Silakan hafalkan kaidah ini, karena memang kaidah singkat ini sudah merangkum semua bab di dalam ilmu nahwu.

Sebelumnya juga sudah kita bahas, mengapa ada huruf yang tidak beramal kepada kata setelahnya. Kemungkinannya adalah karena:

  • huruf tersebut berfungsi untuk melengkapi kalimat yang telah sempurna, atau
  • huruf tersebut bagian dari sebuah kata.

Contohnya هل istifhamiyah. Ia bisa masuk ke dalam jumlah tammah (kalimat sempurna) baik ismiyyah maupun fi’liyyah, bukan karena هل yang butuh kepada jumlah setelahnya, akan tetapi jumlah setelahnya yang membutuhkan هل.

Demikian juga dengan hamzah istifham dan isim istifham yang lain mengikuti.

Contoh lainnya lamul ibtida‘ yang juga sejatinya ia masuk kepada jumlah tammah, nanti akan kita bahas.

Adapun أَلْ berbeda. أَلْ dianggap sebagai bagian dari sebuah isim.

Misalnya pada kata الرَّجُلُ.

Meskipun ia terdiri dari dua kata, yakni أل dan رَجُلٌ, namun sudah dianggap sebagai satu kata.

Setara dengan isim ma’rifah lainnya seperti isim ‘alam, dhomir, dan yang lainnya.

Demikian juga dengan sin, سَوْفَ, قَدْ, yang semua huruf itu masuk kepada fi’il, juga dianggap bagian dari fi’ilnya. Misalnya:

سَأَذْهَبُ – سَوْفَ أَذْهَبُ – قَدْ أَذْهَبُ

Huruf-huruf itu mengkhususkan waktunya fi’il menjadi waktu yang lebih spesifik, yakni akan atau baru saja terjadi. Maka semuanya tidak beramal.

Pembahasan ini diambil dari Buku yang berjudul Huruf karya Ustadz Abu Kunaiza hafidzhahullah yang bisa dimiliki disini: https://wa.me/p/6298414366940207/6285161588945

Demikian penjelasan mengenai huruf di dalam bahasa Arab. Selanjutnya ada pembahasan-pembahasan turunannya seperti

  • Huruf-huruf apa saja yang masuk kepada isim
  • Huruf-huruf apa saja yang masuk kepada fi’il
  • Dan huruf-huruf yang bisa masuk kepada isim dan fi’il