HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar
Kamus Hafalan Durusul Lughah Jilid 2

Huruf-huruf yang Masuk Kepada Isim

huruf yang masuk kepada isim

Setelah kita mempelajari apa itu huruf di dalam bahasa Arab, sekarang kita masuk kepada pembahasan tentang huruf-huruf yang bisa masuk kepada isim.

Tulisan ini merujuk pada kitab mulakhos halaman 148 yang kemudian di syarah (diberikan penjelasan oleh Ustadz Abu Kunaiza hafidzhahullah).

Berikut ini adalah huruf-huruf yang masuk kepada isim:

1. Huruf Jar

Penulis memulai dengan huruf jarr, karena memang inilah gambaran huruf yang sesungguhnya.

Siapapun ketika ditanya, sebutkan contoh huruf ma’ani (huruf yang bermakna), maka yang pertama kali terbesit di benaknya adalah huruf jarr.

Di samping karena memang jenisnya yang paling banyak dibandingkan huruf yang lain, juga karena karakternya yang mencerminkan huruf sejati, di mana ia tidak bermakna dengan sendirinya sebagaimana ciri khas huruf, dan ia juga beramal sebagaimana ciri khas huruf, yakni huruf itu pada asalnya adalah ‘amil “beramal”. Maka ia mewakili huruf yang lainnya.

Dan yang menjadi ma’mul huruf jarr adalah isim sebagaimana ciri khas isim, yaitu asalnya dia ma’mul bukan ‘amil. I’robnya pun jarr sebagaimana ia adalah i’rob yang hanya ada pada isim. Maka terkumpul ciri khas sekian banyak, yaitu ciri khas pada huruf dan ciri khas pada isim.

Di sini ada banyak sekali huruf jarr, dan sebetulnya penulis juga tidak menyebutkan semuanya.

Semua huruf ini menjarrkan isim yang terletak setelahnya. Dan isim setelahnya tentu ia akan majrur dengan ciri-ciri jarr yang telah dijelaskan sebelumnya pada bab isim majrur.

2. Inna wa Akhowatuha

Inna wa akhowatuha masuk kepada jumlah ismiyyah, ketika telah lengkap mubtada dan khobar-nya. Artinya, dia masuk kepada jumlah tammah. Dan sebagaimana kaidah yang tadi sudah disampaikan, semestinya ia tidak beramal, sebagaimana هَلْ istifhamiyyah.

Pertanyaannya, mengapa huruf-huruf ini beramal?

Bukankah tadi disebutkan bahwa jika ada huruf yang masuk kepada jumlah tammah semestinya ia tidak beramal? Maka kaidah ini perlu kita perinci lagi.

Bahwasanya ketujuh huruf ini yaitu:

إِنَّ – أَنَّ – لَكِنَّ – كَأَنَّ – لَعَلَّ – لَيْتَ – لَا

Seringkali diberhentikan oleh penuturnya (yakni orang Arab), dan dijadikan sebagai harful-jawab.

Terkadang pada huruf-huruf ini ditambahkan هَاءُ السَّكْتِ di akhirnya, terkadang tidak, hanya diwaqofkan (dihentikan) demikian saja.

Kemudian dihilangkan mubtada khobar-nya, ma’mul-nya dihilangkan. Misalnya ucapan orang Arab,

إِنَّ atau إِنَّه (diberikan هَاءُ السَّكْتِ), artinya نَعَمْ, iya.

Ia sebagai harful jawab; atau كَأَنَّه (sepertinya), لَعَلَّه (semoga), لَيْتَه (seandainya).

Misalnya ada seseorang mengatakan:

هَلْ زَيْدٌ سَوْفَ يَأْتِيْ؟, lalu dijawab لَعَلَّه

Apakah Zaid akan datang? Semoga.

هَلْ هُوَ أُسْتَاذٌ؟, lalu dijawab كَأَنَّه

Apakah dia seorang guru? Sepertinya/mungkin.

Seringkali huruf-huruf ini diwaqofkan tanpa adanya ma’mul, karena semua huruf ini bisa diwaqofkan dan bisa berdiri sendiri. Tidak seperti هَلْ dan huruf-huruf lainnya yang terdiri dari dua atau satu huruf saja.

Karena bisa diwaqofkan, maka ketujuh huruf ini membutuhkan tanda bahwasanya jumlah setelahnya masih berkaitan dengan huruf-huruf ini, dan agar tidak dianggap berdiri sendiri.

Dan tanda tersebut adalah amalannya, yaitu dinashobkan isimnya dan dirofa’kan khobarnya, untuk menunjukkan bahwa jumlah tersebut berkaitan dengan inna wa akhowatiha. Kita baca yang disampaikan penulis,

Semua huruf ini masuk kepada mubtada dan khobar, dia menashobkan mubtada’ dan disebut isimnya, dan merofakan khobar dan disebut khobarnya.

3. Huruf Washilah

Kemudian hurufun-nida, harful-istitsna (إِلَّا), dan wawul-ma’iyyah hakikat ketiganya adalah huruf-huruf washilah, yaitu huruf-huruf yang menyampaikan amalan fi’il kepada isim setelahnya.

Maka dari itu, isim setelahnya manshub oleh fi’il, bukan oleh huruf ini semata. Tidak seperti apa yang diisyaratkan penulis di sini, seakan-akan ketiga huruf ini yang beramal kepada isim setelahnya.

3.1 Hurufun Nida’

Dan semua huruf ini (yaitu: يَا – أَيَا – هَيَّا – أَي – الهَمْزَة) muncul sebelum munada.

Harfun nida‘, apapun itu, pada asalnya adalah huruf yang menggantikan fi’il yang mahdzuf, yang takdirnya أُنَادِيْ (aku memanggil).

Misalnya يَا رَجُلًا, kata رَجُلًا di sini pada hakikatnya manshub oleh fi’il tersebut, akan tetapi dibantu oleh harfun nida يَا, maka يَا adalah harful washilah.

3.2 Harful Istitsna

Maka isim yang muncul setelah (إِلَّا) ini ia berhak untuk manshub.

Dan boleh mengikuti mustatsna (yakni sebagai badal, atau ada yang mengatakan sebagai ‘athof bayan) atau nashob sebagai mustatsna jika kalamnya negatif dan sempurna.

Dan di-i’rob sebagaimana kedudukannya jika kalimatnya negatif dan belum sempurna, dalam arti belum disebutkan mustatsna minhunya.

Misalnya:

جَاءَ الطُّلَّابُ إِلَّا زَيْدًا

Seluruh siswa telah datang, kecuali Zaid

زَيْدًا manshub, dan yang menashobkan hakikatnya bukan (إِلَّا) semata, melainkan fi’il (جَاءَ), dengan bantuan washilah (إِلَّا).

3.3 Wawul Ma’iyyah

Ia adalah wawu yang maknanya (مَعَ), menunjukkan kebersamaan, dan isim setelahnya manshub dianggap sebagai maf’ul ma’ah.

Misalnya pada kalimat:

مَشَيْتُ وَالقَمَرَ

Aku berjalan bersama bulan

Maka yang menashobkan القَمَرَ adalah fi’il مَشَى dengan bantuan wawul-ma’iyyah.

4. Lamul Ibtida’

Dan yang terakhir adalah lamul-ibtida, ia tidak beramal, dan ini sudah saya sebutkan apa sebabnya, yaitu karena dia masuk kepada kalimat sempurna. Di sini disebutkan,

Dia muncul di awal kalimat, dan tidak ada pengaruh apapun terhadap i’rob isim setelahnya.

Contohnya:

لَعُمْرُكِ لَأُخْلِصَنَّ لَكِ

Lamul ibtida pada kalimat ini bermakna sumpah, yaitu “demi umurmu, aku akan tulus kepadamu”.

Sebetulnya yang boleh mengucapkan semisal ini hanya Allah. Hanya Allah yang boleh bersumpah dengan usia atau semisalnya, sebagaimana dalam al-Qur’an,

لَعُمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِيْ سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُوْنَ

Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kondisi linglung (sesat).

Bottom Ad Space