Huruf-huruf yang Masuk Kepada Fi'il
Setelah sebelumnya kita membahas mengenai apa itu huruf, kemudian setelah itu kita mempelajari huruf-huruf apa saja yang masuk kepada isim, maka di pembahasan ini kita akan membahas huruf-huruf yang masuk kepada fi’il.
Berikut ini adalah huruf-huruf yang masuk kepada fi’il
1. Hurufun Nashbi dan Huruful Jazmi
Hurufun nashbi adalah huruf-huruf penashob, sedangkan huruful jazmi adalah huruf-huruf penja
Jika ada yang bertanya, mengapa nawashib (huruf-huruf penashob) dan
jawazim (huruf-huruf penjazm) bisa beramal kepada fi’il sedangkan sin dan سَوْفَ tidak? Maka jawabannya adalah,
1. Karena nawashib dan jawazim tidak dianggap bagian dari fi’ilnya.
Tadi disebutkan bahwa huruf itu tidak beramal ketika ia dianggap sebagai bagian dari kata setelahnya. Dan nawashib dan jawazim itu tidak dianggap sebagai bagian dari fi’il, sebagaimana sin dan سَوْفَ. Jadi kalau ada إِنْ atau لَمْ, tidak ada yang menganggap keduanya sebagai bagian dari fi’il. Berbeda dengan sin atau سَوْفَ, misalnya سَأَذْهَبُ atau سَوْفَ أَذْهَبُ. Orang akan mengira keduanya bagian dari fi’il tersebut, karena tidak memberi makna tambahan, kecuali hanya mengkhususkan waktu saja.
2. Berbeda dengan nawashib dan jawazim, karena keduanya memberikan makna tambahan di samping pengubahan waktu, misalnya,
- لَمْ – selain mengubah waktu fi’il mudhori menjadi madhi, ia juga memberikan makna nafi.
- لَنْ – memberikan makna nafi.
- لَمَّا – memberikan makna nafi.
- Lamum amr dan لَا an-nahiyah memberikan makna perindah dan larangan.
- إِنْ – memberikan makna syarat
- أَنْ – memberikan makna إِمْكَان yakni dimungkinkannya terjadi fi’il (perbuatan) di waktu mendatang, misalnya, أُرِيْدُ أَنْ أَذْهَبَ – saya ingin pergi. Ada kemungkinan jadi pergi atau tidak jadi pergi. Maka ini adalah makna أَنْ sebagai الإمكان
Dan makna-makna ini tidak akan sempurna kecuali disempurnakan dengan adanya fi’il setelahnya, layaknya huruful-jarr
Kita baca di sini mengenai hurufun-nashbi,
وَهَذِهِ الحُرُوْفُ تَنصِبُ الفِعْلَ المُضَارِعَ. وَيَكُوْنُ الفِعْلُ المُضَارِعُ الذِي يَلِيْهَا مَنْصُوْبًا بِالفَتْحَةِ، أَوْ مَنْصُوْبًا بِحَذْفِ النُّوْنِ إِذَا كَانَ مِنَ الأَفْعَالِ الخَمْسَةِ
Kemudian yang mengenai huruful-jazm,
هَذِهِ الحُرُوْفُ تَجْزِمُ الفِعْلَ المُضَارِعَ. وَيَكُوْنُ الفِعْلُ المُضَارِعُ الذِي يَلِيْهَا مَجْزُوْمًا بِالسُّكُوْنِ أَوْ بِحَذْفِ النُّوْنِ إِذَا كَانَ مِنَ الأَفْعَالِ الخَمْسَةِ أَوْ بِحَذْفِ حَرْفِ العِلَّةِ إِذَا كَانَ مُعْتَلُّ الآخِرِ (عِلْمًا بِأَنَّ إِنْ تَجْزِمُ فِعْلَيْنِ)
2. Maa (مَا) dan laa (لَا)
Kedua huruf ini unik sekali. Beliau memasukkan لَا an-nafiyah dan مَا an-nafiyah ke dalam huruf mukhtash yang hanya bisa masuk kepada fi’il, padahal keduanya juga bisa masuk kepada isim. Bahkan beliau menulis bab tersendiri mengenai لَا an-nafiyatu lil-jinsi dan huruf yang beramal sebagimana amalan لَيْسَ di kitab ini.
Di antaranya dibahas juga مَا al-hijaziyyah dan لَا an-nafiyah lil-wahdah. Keduanya di sini dianggap tidak beramal karena masuk kepada jumlah tammah, baik ismiyyah maupun fi’liyyah.
Disebutkan disini,
Keduanya huruf nafi, ما masuk kepada fi’il madhi (meskipun mudhori juga bisa), dan لا masuk kepada fi’il mudhari (walaupun kepada madhi juga bisa). Keduanya tidak memiliki amalan apapun kepada fi’il setelahnya.
Kenapa? Seperti tadi telah disampaikan, karena keduanya masuk kepada jumlah tammah, baik ismiyyah maupun fi’liyyah sebagaimana هل. Hanya saja ada sebagian kabilah yang memberikan amalan pada ما dan لا ketika bertemu dengan jumlah ismiyyah, semata-mata karena kemiripannya dengan لَيْسَ. Yaitu mereka yang berasal dari bani Hijaz, makanya disebut مَا atau لَا al-Hijaziyyah
3. Qod (قَدْ) dan Sin (س) – Saufa (سَوْفَ)
Dia kalau bertemu fi’il madhi bermakna ta’kid, atau taqrib (dekat), dan taqlil (jarang) bila bertemu fi’il mudhori. Dan dia tidak memiliki amalan apapun.
Alasannya tadi sudah disampaikan.
Sin menunjukkan masa mendatang yang dekat sedangkan saufa masa mendatang yang jauh.
Silahkan dibaca pembahasan mengenai perbedaan antara sin dan saufa.